Kamis, 25/04/2024 19:32 WIB

Lagi, Korupsi Menjerat Oknum Jaksa

Tertangkapnya oknum kejaksaan dalam dugaan tindak pidana korupsi bukan kali pertama terjadi.

Ilustrasi korupsi (foto: Forbes)

Jurnas.com - Wajah penegak hukum kembali tercoreng. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan tangkap tangan lalu menetapkan Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Agus Winoto, satu orang pengacara, serta satu pihak swasta (28/6) karena diduga memberikan atau menerima hadiah atau janji terkait penanganan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada tahun 2019.

Tentu kejadian tersebut semakin membuat citra penegak hukum semakin merosot di mata publik. Tertangkapnya oknum kejaksaan dalam dugaan tindak pidana korupsi bukan kali pertama terjadi.

Setidaknya dalam kurun waktu 2004 - 2018, telah ada 7 Jaksa yang terlibat praktik rasuah dan terjaring oleh KPK. Hal ini menandakan bahwa proses pengawasan di internal Kejaksaan, tidak berjalan secara maksimal.

Ada respon menarik yang muncul atas operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK kali ini, yakni beberapa pihak yang berpandangan bahwa kasus ini mesti ditangani oleh internal Kejaksaan Agung. Jika merujuk kepada kewenangan dan dasar pembentukan KPK, pandangan ini tentu saja keliru dan harus dikritisi secara serius.

Menurut Peneliti ICW Kurnia Ramadhani setidaknya ada 3 (tiga) argumentasi yang dapat dikemukakan. Pertama, KPK adalah lembaga yang paling tepat untuk menangani kasus korupsi penegak hukum. Berdasarkan pasal 11 huruf a UU KPK, menyebutkan kewenangan KPK dalam menangani perkara yang melibatkan aparat penegak hukum.

Pada operasi yang KPK, beberapa oknum yang tertangkap memiliki latar belakang sebagai Jaksa, maka KPK secara yuridis mempunyai otoritas untuk menanganinya lebih lanjut.

Kedua, tidak ada lembaga atau pihak manapun yang boleh mengintervensi penegakan hukum yang dilakukan KPK. Undang-undang telah menyebutkan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Apabila dalam penanganan perkara ada pihak yang mencoba intervensi, dapat dianggap menghalang-halangi proses penegakan hukum (obstruction of justice) dengan ancaman pidana penjara maksimal 12 tahun.

Dan ketiga, penanganan perkara harus bebas dari konflik kepentingan. Jaksa Agung sebaiknya mengurungkan niatnya untuk menangani oknum jaksa yang tertangkap oleh KPK. Sebaiknya Jaksa Agung melakukan perbaikan di internal. Karena penangkapan oknum Jaksa di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta adalah bentuk penyelematan integritas Kejaksaan di mata publik.

"Setidaknya, langkah KPK dapat dimaknai juga sebagai upaya bersih-bersih internal Kejaksaan dari pihak-pihak yang mencoreng martabat Kejaksaan," imbuh Kurnia.

KEYWORD :

Oknum Kejaksaan Pidana Korupsi




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :