Sabtu, 20/04/2024 00:54 WIB

Hukum Mati Koruptor, Efektifkah?

Pidana penjara yang dijatuhkan kepada sejumlah aparat penegak hukum dan pejabat negara yang terlibat kasus korupsi, sepertinya tidak membuat efek jera.

Ilustrasi korupsi (foto: Forbes)

Jakarta - Operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Manado Sudiwardono oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menambah daftar panjang tindak kejahatan korupsi oleh aparat penegakkan hukum di tanah air.

Pidana penjara yang dijatuhkan kepada sejumlah aparat penegak hukum dan pejabat negara yang terlibat kasus korupsi, sepertinya tidak membuat efek jera. Sebab, hingga saat ini sejumlah aparat penegak hukum dan pejabat negara sudah banyak yang mendekam di balik jeruji besi akibat terlibat kasus korupsi.

Penggiat Hukum Saor Siagian mengatakan, tindak kejahatan korupsi saat ini terus merajalela. Untuk itu, menurutnya, perlu hukuman maksimal dengan menjatuhkan hukuman mati sesuai pasal 2 ayat 2 UU Tipikor. Hal itu guna membuat efek jera bagi para koruptor.

"Korupsi terus meraja lela, agar punya efek jera, perlu hukum maksimal, hukuman mati, sesuai pasal 2 ayat 2 UU Tipikor. Karena hukum positif mengatur, bisa baca pasal 2 ayat 2 UU Tipikor, sudah ditangkapin hampir tiap hari, tidak jera-jera," kata Saor, ketika dihubungi, Jakarta, Senin (9/10).

Sebelumnya, wacana pemberian hukuman mati bagi koruptor juga dikemukakan oleh eks penasihat KPK Abdullah Hehamahua. Sebetulnya, hukuman pencabutan nyawa untuk terpidana korupsi sudah diatur dalam UU Tipikor yang sekarang, namun hanya berlaku untuk korupsi yang dianggap luar biasa.

Hukuman mati diatur dalam Pasal 2 ayat 2 UU 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Hukuman tersebut menjadi bagian dari Pasal 2 ayat 1 yang mengatur tentang perbuatan memperkaya diri dan orang lain yang dapat merugikan keuangan negara.

"Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan," demikian bunyi Pasal 2 ayat 2.

Dimana, dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyebutkan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya  diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara  minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah  dan paling banyak 1 miliar rupiah.

Maksud keadaan tertentu pada Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor dijelaskan lebih jauh dalam bab penjelasan Undang-undang tersebut. Apa saja?

"Yang dimaksud dengan `keadaan tertentu` dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter," demikian bunyi penjelasan dari Pasal 2 ayat 2 tersebut.

KEYWORD :

KPK OTT KPK Suap Golkar Aditya Moha




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :