Minggu, 15/06/2025 21:42 WIB

Kenapa Iran Dijuluki Negeri Para Mullah?

Salah satu julukan yang cukup melekat terhadap Iran atau Persia ialah Negeri Para Mullah

Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei berbicara dalam sebuah pertemuan di Teheran, Iran, 20 Mei 2025. (FOTO: WANA/AFP)

Jakarta, Jurnas.com - Salah satu julukan yang cukup melekat terhadap Iran atau Persia ialah Negeri para Mullah. Terdapat beberapa alasan mengapa sebutan itu disematkan. Di antaranya ialah karena mencerminkan peran besar para ulama dalam membentuk identitas politik, sosial, dan budaya Iran sejak revolusi 1979. 

Dikutip dari berbagai sumber, dalam konteks dunia Islam, “mullah” merujuk pada ulama atau tokoh agama yang menguasai ilmu keagamaan, seperti fikih, teologi Islam hingga filsafat. Di Iran, para mullah berasal dari sistem pendidikan keagamaan hawzah, dengan pusat-pusat utama seperti Qom dan Najaf.

Menurut Ensiklopdi Oxford Dunia Islam Modern, penggunaan istilah mullah mulai berlaku sejak periode Shafawiyah (907-1145 H/1501-1722 M), demikian dikutip Republika.

Di kalangan ulama, istilah ini digunakan sebagai penghormatan tertinggi untuk pakar ilmu keagamaan. Filsuf terkenal dari periode Shafawiyah, Mulla Shadra Syirazi (1050 H/1640 M), mungkin memperoleh namanya dari gabungan antarmullah, dalam hal ini berarti yang paling tinggi ilmunya, dan gelar lain ialah Shadr Al Din, sebagai gelar kehormatannya, demikian dikutip Republika.

Di luar Iran, istilah “mullah” kadang dipakai dengan konotasi negatif, merujuk pada tokoh agama yang konservatif atau ekstrem. Tapi di Iran, terutama pascarevolusi Islam, mullah menjadi simbol penghormatan keagamaan dan kekuasaan.

Sebelum 1979, Iran merupakan kerajaan monarki di bawah Shah Mohammad Reza Pahlavi. Namun, gerakan rakyat yang dipimpin Ayatollah Ruhollah Khomeini—seorang ulama besar—menumbangkan kekuasaan Shah dan mengganti sistem pemerintahan dengan Republik Islam atau mirip dengan teo-demokrasi, gabungan teokrasi dan demokrasi.

Ini bukan sekadar pergantian rezim. Revolusi 1979 merupakan transformasi total: dari negara sekuler yang pro-Barat menjadi negara teokratis di mana hukum syariat dan kepemimpinan ulama menjadi fondasi negara. Sejak saat itulah, posisi mullah naik menjadi aktor utama dalam politik, hukum, dan kehidupan masyarakat.

Berbeda dengan demokrasi liberal, Iran menggabungkan sistem republik dengan prinsip wilayatul faqih atau velayat-e faqih (kepemimpinan ulama). Pemimpin tertinggi negara, Rahbar atau Pemimpin Tertinggi, harus seorang tokoh ulama Syiah tingkat tinggi. Saat ini, posisi itu dipegang oleh Ayatollah Ali Khamenei.

Lembaga-lembaga penting negara seperti Dewan Penjaga Konstitusi, Dewan Pakar, dan Mahkamah Agung didominasi ulama. Bahkan calon presiden pun harus mendapat restu dari Dewan Penjaga, yang terdiri dari para mullah senior.

Dengan kata lain, mullah bukan hanya penafsir agama, tapi juga penentu dan penyaring arah kebijakan nasional.

Julukan "Negeri para Mullah" di antaranya muncul karena dominasi para ulama itu dalam hampir semua aspek kehidupan di Iran: dari sistem hukum, kebijakan luar negeri, hingga pendidikan.

Masyarakat internasional—terutama media Barat—menggunakan sebutan ini secara deskriptif dan terkadang `kritis`, merujuk pada negara yang dijalankan oleh kalangan ulama.

Namun, di sisi lain, di dalam negeri, disebut-sebut tidak semua warga Iran menyukai dominasi mullah. Seiring waktu, muncul kritik terhadap dominasi itu karena dianggap konservatisme, otoritarianisme, dan keterbatasan kebebasan sipil. 

Kendati demikian, sistem politik Iran hingga kini masih menempatkan mullah di puncak kekuasaan alias wilayatul faqih. Jadi, meski “Negeri Para Mullah” menggambarkan struktur formal Iran, julukan ini menyederhanakan kompleksitas sosial yang terus berkembang di negeri kelahiran Salman Al-Farisi itu. (*)

 
 
KEYWORD :

Iran Negeri Para Mullah Persia




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :