
Kaka memeluk pelatih Carlo Ancelotti (Foto: AFP via Getty Images)
Jakarta, Jurnas.com - Pada awal 2000-an, saat banyak klub elite Eropa berlomba menerapkan pressing tinggi dan sepak bola cepat, AC Milan justru tampil tenang namun mematikan.
Semua itu berkat kecermatan Carlo Ancelotti dalam meracik ulang kekuatan timnya, menjadikan formasi 4–1–2–1–2 atau yang dikenal dengan sebutan diamond midfield sebagai pondasi utama, meninggalkan 4-4-2 klasik pada zamannya.
Ancelotti bukan pelatih yang terobsesi pada formasi, tetapi dia tahu persis cara memaksimalkan karakter pemainnya. Dia melihat sesuatu yang belum tentu dilihat pelatih lain pada Andrea Pirlo.
Alih-alih memainkan Pirlo sebagai gelandang serang seperti di klub sebelumnya, Ancelotti menurunkannya jauh ke belakang, menempatkan sang maestro sebagai jenderal di depan empat bek.
Peran ini kemudian dikenal sebagai regista, otak permainan yang memulai serangan dari kedalaman. Dengan Pirlo sebagai poros, Milan memiliki kemampuan luar biasa dalam mengendalikan tempo laga/
Di depannya, dua gelandang pekerja keras seperti Gennaro Gattuso dan Clarence Seedorf memberikan keseimbangan. Gattuso memastikan pertahanan tetap solid dengan tekanan konstan pada lawan, sementara Seedorf menyumbang kreativitas dan visi permainan.
Puncak formasi berlian ini diisi oleh Rui Costa, dan kemudian oleh Kaka, yang menjelma menjadi simbol modern trequartista, yaitu pemain yang beroperasi bebas di belakang dua penyerang untuk menciptakan ruang, umpan, dan bahkan mencetak gol.
Formasi ini memberikan struktur yang solid namun fleksibel. Milan tidak membutuhkan pemain sayap karena pergerakan vertikal yang tajam dari tengah sudah cukup untuk membongkar pertahanan lawan.
Kaka bisa menusuk langsung ke jantung pertahanan, Shevchenko bergerak melebar untuk membuka ruang, dan Inzaghi menunggu di dalam kotak dengan naluri tajamnya. Semua elemen ini membuat Milan tidak mudah dibaca dan sulit dikalahkan.
Kejayaan yang diraih Milan selama menggunakan sistem ini pun bukan isapan jempol. Di bawah Ancelotti, Rossoneri menjuarai Liga Champions pada musim 2002/03 dan 2006/07, mengalahkan dua sesama raksasa Eropa, Juventus dan Liverpool.
Rossonerri juga menjuarai Piala Super Eropa dua kali, Coppa Italia, dan Piala Dunia Antarklub pada 2007. Bahkan kekalahan dramatis mereka dari Liverpool di final 2005 tetap dikenang sebagai salah satu babak pertama terbaik dalam sejarah sepak bola Eropa.
Yang membuat formasi ini bertahan lama adalah kecanggihan taktis yang menyatu dengan karakter pemain. Ancelotti tak sekadar meminta pemain mengisi peran tertentu, dia menyusun sistem yang memaksimalkan kekuatan alami tiap individu.
Itu sebabnya ketika Kaka menerima bola di antara lini tengah dan bek lawan, seluruh tim seperti terhubung secara instingtif. Kombinasi pengalaman, intelegensi, dan kestabilan membuat Milan tampil menawan namun efisien.
Formasi berlian ini kemudian diadaptasi oleh banyak pelatih generasi berikutnya, dari Massimiliano Allegri hingga Zinedine Zidane. Namun, versi paling ikonik tetap milik Ancelotti dan AC Milan.
KEYWORD :Formasi Berlian Carlo Ancelotti AC Milan