
Fotret Alun-Alun Kota Depok (Foto: Depok24jam)
Jakarta, Jurnas.com - Depok bukan sekadar nama kota penyangga metropolitan Jakarta, melainkan sebuah tapak sejarah yang kaya nilai dan warisan. Asal usul namanya pun memuat beragam versi yang memperlihatkan kedalaman latar belakang kota ini.
Mengutip laman Pemkot Depok, salah satu versi menyebut bahwa “Depok” berasal dari kata “padepokan” dalam bahasa Sunda, yang berarti tempat bertapa atau menyepi. Hal ini menguatkan citra Depok sebagai kawasan tenang dan spiritual pada masa lampau.
Namun versi lainnya justru datang dari Belanda, di mana “Depok” diyakini sebagai singkatan dari De Eerste Protestantsche Organisatie van Kristenen. Singkatan ini merujuk pada komunitas Kristen Protestan pertama yang didirikan di tanah ini oleh Cornelis Chastelein.
Kedua versi tersebut tak hanya hidup berdampingan, namun juga saling melengkapi sebagai cerminan identitas Depok yang berakar pada tradisi lokal dan sejarah kolonial. Di sinilah kisah besar kota ini bermula.
Cornelis Chastelein dan Misi Sosialnya
Cornelis Chastelein lahir di Amsterdam pada 1657 dan tumbuh sebagai sosok cerdas dalam bidang keuangan dan perdagangan. Kariernya di VOC membawanya hingga ke Batavia, pusat aktivitas kolonial Belanda di Asia.
Namun seiring waktu, Chastelein mulai gelisah dengan praktik eksploitatif VOC terhadap rakyat pribumi. Ia pun memutuskan untuk keluar dari VOC dan memulai lembaran baru sebagai pemilik lahan partikelir di wilayah selatan Batavia.
Pada tahun 1696, ia membeli tanah luas yang kelak dikenal sebagai Depok. Di lahan ini, Chastelein menerapkan pendekatan yang sangat berbeda dari kebanyakan tuan tanah kolonial.
Ia mendatangkan sekitar 150 budak dari berbagai penjuru Nusantara, seperti Bali, Makassar, Bugis, hingga Timor. Uniknya, para budak ini bukan hanya bekerja di ladang, melainkan juga dibina secara spiritual dan sosial.
Chastelein mengajarkan agama Kristen Protestan kepada mereka dan membentuk komunitas yang terorganisir. Pendekatannya mencerminkan sebuah eksperimen sosial yang menggabungkan kemanusiaan, iman, dan sistem kepemilikan tanah yang egaliter.
Warisan untuk Mereka yang Terpinggirkan
Sebelum wafat pada Juni 1714, Chastelein menulis wasiat yang kelak menjadi titik balik dalam sejarah Depok. Dalam dokumen itu, ia menyatakan bahwa tanah miliknya diwariskan kepada para budaknya dalam bentuk kepemilikan kolektif.
Hal tersebut tidak lazim pada masa itu karena umumnya tanah diwariskan kepada bangsawan atau keluarga. Namun Chastelein justru memberikan tanah kepada mereka yang sebelumnya hidup sebagai budak.
Setelah kematiannya, para pekerja tersebut resmi merdeka dan menjadi pemilik sah atas tanah Depok. Mereka pun dikenal sebagai Orang Belanda Depok, sebuah komunitas pribumi merdeka dengan pemerintahan sendiri.
Komunitas ini membentuk sistem sosial dan politik yang unik, bahkan memiliki struktur pemerintahan lokal bernama Het Gemeente Bestuur van Het Particuliere Land Depok. Ini menjadikan Depok sebagai wilayah semi-otonom di tengah penjajahan Belanda.
Perkembangan Depok
Dengan status tanah partikelir, Depok berkembang menjadi kawasan agraris yang produktif dan makmur. Komoditas seperti indigo, coklat, nangka, dan belimbing menjadi hasil utama dari pertanian mereka.
Lahan Depok dikelola secara kolektif oleh komunitas bekas budak yang kini telah merdeka. Keberhasilan ini membuktikan bahwa pendekatan humanis dalam tata kelola tanah bisa menghasilkan kesejahteraan.
Sistem ini bertahan cukup lama dan menjadi pondasi identitas sosial masyarakat Depok. Bahkan hingga kini, jejak budaya dan garis keturunan komunitas asli tersebut masih bisa ditemui.
Memasuki era modern, Depok mulai berubah secara administratif. Awalnya hanyalah sebuah kecamatan di bawah wilayah Kabupaten Bogor, Depok perlahan menjadi pusat pertumbuhan baru.
Perumahan mulai dibangun secara masif sejak tahun 1976, didorong oleh proyek Perumnas dan pembangunan Universitas Indonesia. Hal ini memicu ledakan jumlah penduduk dan aktivitas ekonomi.
Dengan pesatnya pertumbuhan, pada tahun 1982 Depok ditetapkan sebagai Kota Administratif. Status ini menjadi tonggak awal perubahan struktur pemerintahan yang lebih mandiri.
Namun tuntutan masyarakat terus berkembang dan mengarah pada kebutuhan akan otonomi yang lebih besar. Akhirnya pada 27 April 1999, Depok resmi menjadi Kotamadya berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1999.
Hari ini, Depok dikenal luas sebagai salah satu kota pendidikan, dengan Universitas Indonesia sebagai simbolnya. Selain itu, kota ini juga tumbuh sebagai kawasan pemukiman favorit dan pusat perdagangan jasa yang ramai.
Dengan 11 kecamatan dan puluhan kelurahan, Depok berperan penting sebagai penyangga metropolitan Jakarta. Fungsinya pun beragam, mulai dari pemukiman, pusat pendidikan, perdagangan, hingga kawasan resapan air.
Namun yang membuat Depok istimewa bukan hanya letak strategis atau infrastrukturnya. Melainkan akar sejarahnya yang dibangun atas dasar keadilan, kemanusiaan, dan keberanian melawan arus zaman. (*)
KEYWORD :Kota Depok Sejarah Depok Cornelis Chastelein Asal usul nama Depok