Sabtu, 18/05/2024 23:10 WIB

YGNS Dorong Restorative Justice dalam Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM 98

Ketua Umum YGNS Revitriyoso Husodo mengatakan, membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat besar haruslah mengedepankan kearifan musyawarah yang mengupayakan perdamaian nasional bagi para korban reformasi 98 dan pelaku pelanggar HAM.

Yayasan Gerak Nusantara Sejahtera (YGNS) mendorong penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) 1998 dengan restorative justice (RJ) atau keadilan restoratif. (Foto: Ist)

Jakarta, Jurnas.com - Yayasan Gerak Nusantara Sejahtera (YGNS) mendorong penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) 1998 dengan restorative justice (RJ) atau keadilan restoratif. 

Ketua Umum YGNS Revitriyoso Husodo mengatakan, membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat besar haruslah mengedepankan kearifan musyawarah yang mengupayakan perdamaian nasional bagi para korban reformasi 98 dan pelaku pelanggar HAM.

“Kami mendorong proses penyelesaiannya dengan cara restorative justice. Bahwa yang kita lakukan ini sudah sepengetahuan mereka (Korban HAM 98, Red.) dan sekeinginan mereka,” kata Revitriyoso Husodo di Jakarta, (28/7/23).

Menurutnya, Indonesia, sebagai bangsa yang besar, harus bertambah dewasa dalam bernegara namun juga harus tegas dalam menjunjung tingi kemanusiaan. Dalam hal ini harus bersikap memaafkan namun tidak melupakan (forgiving but not forgetting) kasus tersebut.

Revitriyoso menyebutkan dirinya sebagai korban di peristiwa Semanggi 1 dan beberapa korban lainnya seperti Aan Rusdianto yang juga korban penculikan dan penyiksaan pada tahun 1998.

“Di sini kami mewakili beberapa kelompok tentunya kami tidak mengklaim semuanya akan kita advokasi. Tetapi secara sistem perundang-undangan, kita berhak melindungi diri kami sendiri dan apabila kebetulan korban-korban yang lain seperti di Trisakti, Mal Klender itu di luar dari komunikasi kami,” imbuhnya.

Dalam konferensi pers di Komnas HAM, Jakarta, Revitriyoso menyampaikan, sudah 25 tahun Reformasi di Indonesia berlangsung. Proses penyelesaian tragedi 1998 sampai dengan saat ini sedikit mendapat titik terang dengan pernyataan Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada 1 Januri 2023.

Dalam pernyataan tersebut, negara mengakui dan menyesalkan 12 pelanggaran HAM yang berat memang terjadi, termasuk rangkaian peristiwa pelanggaran HAM Berat, yakni Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997–1998, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, dan Peristiwa Trisakti serta Semanggi I dan II 1998–1999 dengan penyelesaian nonyudisial namun tanpa menegasikan mekanisme yudisial.

Menurutnya, Presiden Jokowi juga melakukan langkah kongkret dengan menginstruksikan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD untuk mengawal proses penyelesaiannya.

Sampai saat ini, proses penyelesaian tersebut masih menyisakan persoalan yang mendasar tentang bagaimana proses penyelesaian dan penanganan HAM masa lalu tersebut.

“Kami yang tergabung dalam Yayasan Gerak Nusantara Sejahtera dalam mensikapi tragedi 1998 hanya menginginkan adanya pengakuan negara terhadap penghilangan nyawa secara paksa dan pemulihan hak-hak para korban,” ujarnya.

Presidium Aliansi Bersinar Ade Gunawan menambahkan, restorative justice ialah sebagi solusi pemasalahan HAM yang telah terjadi, mengingat tantangan masa depan bangsa Indonesia saat ini yang bukan hanya dipenuhi dengan caci maki.

“Tawaran kita dengan restoratif justice, karena tidak mau negara ini saling mencaci maki terus dengan urusan-urusan seperti itu. Kita visioner melihat tantangan bangsa ini ke depan,” pungkas Ade. (Habib/Mag)

 

KEYWORD :

Yayasan Gerak Nusantara Sejahtera Pelanggaran HAM 1998 Restorative justice




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :