Jum'at, 26/04/2024 12:22 WIB

RPP Cipta Kerja Sektor Kehutanan Dinilai Anaktirikan Petani Sawit

Petani sawit selalu menyelesaikan persoalannya sendiri, mereka juga mampu menciptakan lapangan kerja bagi orang lain.

Kelapa sawit (Foto: Tribunnews)

Jakarta, Jurnas.com - Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menyurati Presiden Jokowi terkait Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Cipta Kerja Sektor Kehutanan dan Perkebunan pqda akhir Desember 2020.

RPP ini adalah salah satu turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) nomor 11 tahun 2020.

Perkumpulan petani kelapa sawit terbesar di dunia ini terpaksa mengirim surat setebal 17 halaman itu lantaran isi RPP tersebut sangat tidak berpihak kepada petani kelapa sawit.

"Sanksi administrasi yang ada di RPP itu sangat tidak berpihak kepada petani kelapa sawit. Mulai dari denda yang tidak masuk akal hingga luasan maksimal kebun petani sawit yang bertentangan dengan Undang-Undang 39 tahun 2014 tentang Perkebunan," kata Ketua DPP Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung dalam konferensi pers virtual, Selasa (12/1).

Gulat mengatakan, di UU 39 itu sebutkan bahwa kebun petani kelapa sawit maksimal 25 hektar. Sementara di RPP disebut hanya 5 hektare yang diakomodir.

Adapun soal sanksi denda yang tak masuk akal tersebut dikatakan Gulat, RPP dibuat simulasi rumus bahwa denda yang harus dibayar petani adalah Rp25 juta x lama menguasai lahan dikali luas lahan dikali volume kayu yang ditebang saat membuka lahan.

"Rumus ini sangat tidak masuk akal dan saya pastikan petani tak akan ada yang sanggup membayar. Nilainya puluhan miliar rupiah hingga ratusan miliar rupiah jika menggunakan rumus tersebut," jelasnya.

Yang paling membikin Apkasindo khawatir, kata Gulat, di RPP itu disebutkan bahwa kawasan hutan adalah kawasan yang sudah ditetapkan. Sementara itu, mayoritas petani sawit justru ada di kawasan hutan yang masih dalam penunjukan, pemetaan dan penataan batas.

Petani sawit adalah investor karena petani menanam sendiri, memupuk sendiri, memodali sendiri, membuat jalan sendiri semua serba sendiri. Dengan luas kebun petani dalam kawasan hutan seluas 2,73 juta hektar jika tidak diakomodir dalam RPP dalam bentuk pasal khusus, maka investasi petani dengan luas 2,73 juta hektare tersebut akan hilang sebesar Rp546 triliun, termasuk biaya sosialnya.

"Belum lagi dihitung kerugian Pemerintah untuk menghutankan kembali dan hilangnya potensi penerimaan negara yang diperkirakan mencapai Rp 825 triliun. Jika digabung semua kerugian inventasi ini maka total nya mencapai Rp1.370 Triliun," jelasnya.

Untuk kerugian penerimaan negara (Bea Keluar dan Pungutan Eksport) baru dihitung satu tahun, jika umur tanaman masih produktif 10 tahun lagi maka tinggal mengalikan saja.

"UUCK hanya memberikan batas waktu 3 tahun untuk menyelesaikan persoalan klaim kawasan hutan tadi. Kalau persoalan klaim kawasan hutan tadi baru bisa kelar setelah pengukuhan kawasan hutan, kami pastikan waktu 3 tahun itu tidak akan cukup," tambah Gulat.


Menurutnya, apabila tak terselesaikan maka petani sawit akan terus bermasalah dengan kawasan hutan. Akibatnya, program strategis Presiden-Wakil Presiden terkait PSR dan ISPO (Program PSR, Peremajaan Sawit Rakyat dan Sawit berkelanjutan ISPO) tidak akan pernah bisa digapai petani.

Ini berdampak secara menyeluruh, sehingga menabrakkan Program Strategis Presiden/Wapres di Bidang Ketahanan Energi, Bidang Sawit berkelanjutan dan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) ke RPP yang sedang dirancang ini. Terganggunya Hulu (aspek budidaya dan produksi) akan praktis mengganggu hilir (industrilisasi).

"Kita harus mensyukuri anugerah Tuhan kepada NKRI, yaitu sawit dapat tumbuh subur di Indonesia dan menjadi kebanggaan dan penopang ekonomi Indonesia dan sudah teruji saat krisis moneter 1998 dan Covid-19 bahwa sawitlah menjadi penopang ekonomi Indonesia," jelas Gulat.

Founder dan Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung meminta pemerintah jangan menganaktirikan petani kelapa sawit, tapi justru harus dijadikan anak kandung yang paling berbakti.

Sebab kata lelaki 55 tahun ini, selama ini petani kelapa sawit tidak pernah menyusahkan pemerintah, sebaliknya malah petani kelapa sawit sudah terlalu banyak membuat yang terbaik untuk Negara.

"Kontribusi petani sawit dalam ekspor sawit Nasional mencapai 41 persen. Tahun 2020, kontribusi petani sawit mencapai USD9 miliar," katanya.

Angka itu berasal dari pendapatan pemerintah dari ekspor sawit tahun 2020 yang mencapai lebih dari USD20 miliar.

"Petani sawit juga menyumbang dana pungutan sekitar 41 persen. Kalau misalnya Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menghimpun dana Rp15 triliun, 41 persennya berasal dari sawit rakyat," rinci Dosen Pascasarjana Universitas Tri Sakti ini.

Petani sawit, kata Tungkot, selalu menyelesaikan persoalannya sendiri, mereka juga mampu menciptakan lapangan kerja bagi orang lain.

"Ini berarti mereka berjasa mengurangi pengangguran dan mengentaskan kemiskinan, bukan dengan PP dari UUCK malah yang terjadi sebaliknya," tegas Tungkot.

KEYWORD :

RPP Cipta Kerja Kehutanan Petani Sawit Apkasindo




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :