Jum'at, 19/04/2024 06:21 WIB

Pasar Terbuka Solusi Tekan Dampak Virus Corona

Dalam rancangan UU Cipta Kerja Omnibus Law, pemerintah menyatakan bahwa kebutuhan pangan domestik akan dipenuhi oleh pasokan domestik dan impor.

Bawang putih (Foto: Muti/Jurnas.com)

Jakarta, Jurnas.com -  Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta menyatakan, kebijakan pasar terbuka (open market) bisa menjadi solusi untuk menekan dampak virus corona (COVID-19) di Indonesia.

Pandemi COVID-19 menjadi salah satu penyebab naiknya harga berbagai komoditas pangan di Indonesia. Keterbatasan produksi pangan dalam negeri menyebabkan keterbatasan pasokan di pasar yang pada akhirnya menyebabkan harga semakin tinggi.

Felippa mengatakan, pemerintah idealnya mengutamakan kebijakan yang fokus pada ketersediaan dan akses masyarakat terhadap komoditas pangan dan barang-barang penting.

Dengan memastikan ketersediaan komoditas pangan dan barang-barang penting di pasaran, masyarakat dapat kebutuhannya dengan harga terjangkau. Pemerintah juga dapat terus menjaga tumbuhnya konsumsi sebagai bentuk stimulus terhadap perekonomian nasional yang juga terdampak pandemi COVID-19.

"Pemerintah perlu mengevaluasi berbagai regulasi yang berpotensi menghambat berjalannya kebijakan pangan yang terbuka. Berbagai regulasi, yang dapat digolongkan sebagai pembatasan dan hambatan masuknya komoditas dari pasar internasional, perlu dipastikan efektivitasnya terhadap stabilitas harga di dalam negeri," ungkap Felippa dalam keterangan tertulisnya.

Salah satu contoh nyata fluktuasi harga dalam negeri adalah pada bawang putih. Sebanyak 90% bawang putih Indonesia berasal dari China dan karena adanya kebijakan lockdown di China akibat wabah virus corona, pasar bawang putih nasional kekurangan pasokan dan harganya menjadi sangat mahal.

"Bawang putih China biasanya berharga Rp7.200 per kilogram dan dijual di Indonesia dengan harga Rp26.600 per kilogram. Saat ini, harga eceran bawang putih di pasar mencapai Rp75.000 per kilogram.," jelas Felippa.

Kebijakan yang berlaku di dalam negeri untuk bawang putih adalah wajib tanam bagi importir untuk mendapatkan Rekomendasi untuk Impor Produk Hortikultura (RIPH). Importir baru bisa menerima dokumen ini jika sudah menanam sebanyak 5% dari volume impor diajukan.

Namun kewajiban ini juga tidak mudah untuk dipenuhi, salah satunya adalah karena kesulitan importir untuk menemukan kelompok tani yang dapat diajak bekerja sama dalam menanam. Belum lagi keterbatasan lahan dan juga cuaca.

"Akibatnya mereka kehilangan lisensi impor mereka. Kemudian mereka memulai perusahaan baru, mengajukan lisensi baru, gagal lagi, dan permainan berlanjut dengan pemain yang itu-itu saja. Belum lagi sistem kuota yang rawan disalahgunakan. Sistem ini juga meniadakan kompetisi yang sehat antar importir," tandasnya.

Felippa mengatakan, pembatasan impor sudah terbukti merugikan konsumen Indonesia, termasuk para petani yang selalu disebut-sebut merugi karena kebijakan impor. Pasalnya, mereka membeli komoditas pangan lebih banyak daripda yang mereka tanam sendiri.

Untuk memastikan impor tidak merugikan petani, saran Felippa, pemerintah perlu mendukung upaya peningkatan produktivitas dan usaha petani, seperti dengan akses finansial atau dukungan teknologi.

CIPS mendorong pemerintah membuat kebijakan yang diperlukan untuk menjaga ketersediaan komoditas pangan. Undang-undang saat ini masih mengatur bahwa permintaan pangan dalam negeri harus dipenuhi oleh pasokan domestik, impor hanya diperbolehkan jika produksi dalam negeri tidak mencukupi.

Dalam rancangan UU Cipta Kerja Omnibus Law, pemerintah menyatakan bahwa kebutuhan pangan domestik akan dipenuhi oleh pasokan domestik dan impor.

"Krisis saat ini tampaknya meyakinkan pemerintah Indonesia untuk mengikuti prinsip ekonomi mendasar, yaitu kebijakan pangan terbuka adalah cara terbaik untuk memastikan akses ke makanan berkualitas yang terjangkau," tegasnya.

KEYWORD :

Felippa Ann Amanta Kebijakan Pasar Terbuka Bawang Putih Virus Corona




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :