Kamis, 25/04/2024 21:15 WIB

RUU EBT, Pemerintah Diminta Waspadai Ketahanan APBN Terkait PLTS Atap

Pemerintah Pusat berkewajiban memberikan pengembalian selisihnya kepada perusahaan listrik milik negara dan/atau Badan Usaha tersebut.

Pembangkit Listrik Tenaga Surya

Jakarta, Jurnas.com - Rencana pengembangan PLTS Atap seperti yang tertulis dalam draf RUU Energi Baru Terbarukan (RBT) dinilai berpotensi menggerus ketahanan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Pakar Energi dari Institut Teknologi Surabaya (ITS), Mukhtasor, mengatakan pemerintah sangat penting untuk menjaga program percepatan energi terbarukan secara berkelanjutan dalam konteks APBN. Salah satu yang diatur adalah PLTS Atap.

Pasalnya, sejumlah klausul yang muncul pada draf RUU EBT dinilai akan berdampak signifikan terhadap keuangan negara, khususnya di kondisi serba sulit akibat pandemi Covid-19, serta badan usaha milik negara (BUMN) di bidang kelistrikan.

Dia menilai APBN akan mendapat beban yang cukup berat dari program yang sedang dicanangkan demi mengejar percepatan perkembangan energi hijau di Indonesia.

Menurut Mukhtasor, jika harga listrik yang bersumber dari energi terbarukan lebih tinggi dari biaya pokok penyediaan pembangkit listrik, (salah satunya PLTS Atap), maka Pemerintah Pusat berkewajiban memberikan pengembalian selisihnya kepada perusahaan listrik milik negara dan/atau Badan Usaha tersebut.

"Pertanyaannya adalah, kira-kira berapa tahun negara ini mampu menanggung cost ini? Sementara sekarang ini, masyarakat saja sudah mengibarkan bendera putih karena Covid-19. Lapangan kerja juga sulit. Karena bagaimana pun yang kita inginkan, pemerintah atau negara harus bertanggung jawab atas konsekuensi dari program ini,” ujar Mukhtasor.

Sebagai informasi, biaya pokok penyediaan PLTU saat ini sekitar Rp700,– Rp900 per kwH, sementara biaya pokok penyediaan PLTS sekitar Rp1.400 per kWh. Dengan demikian, ada lonjakan biaya yang harus ditanggung oleh pemerintah.

Percepatan EBT di Tengah Pasokan Listrik Berlebih

Herman Darnel Ibrahim, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), menyebut realisasi bauran energi terbarukan Indonesia saat ini baru berkisar 10 - 11 persen dari keseluruhan penggunaan energi di Tanah Air.

Angka ini hanya beranjak sedikit dibandingkan realisasi bauran energi terbarukan pada 2009 atau 12 tahun lalu, yang berada di level 7 persen.

"Pada waktu saya menjadi anggota DEN pertama yakni 2009, baurannya 7 persen. Sekarang hanya 10 persen - 11 persen. Jadi naiknya hanya sedikit. Dan kalau dilihat tren kenaikannya, maka untuk mencapai 23 persen itu tidak mudah. Dan ini sulit,” ujar Herman.

Apalagi dengan adanya pandemi Covid-19 yang memukul hampir seluruh sektor industri, pemakaian energi, khususnya energi listrik, menjadi jauh berkurang.

Akibatnya, terjadi kapasitas listrik berlebih atau over capacity yang alih-alih menjadi keuntungan, namun justru menjadi beban bagi perusahaan penyedia listrik.

"Ini situasi yang dilematis memang. Tetapi saya mengatakan, pesannya adalah maksimalkan energi terbarukan. Targetnya sih tetap ya, tetapi kita maksimalkan saja. Maka kemudian kalau tercapainya seperti apa, ya kita lihat saja,” tuturnya.

Sementara itu, Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto menegaskan Rancangan Undang-undang tentang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) yang berjumlah 61 pasal membawa misi untuk mendorong pengembangan potensi energi baru dan terbarukan secara optimal.

"Kita akan memperluas seluas-luasnya. Kita akan kembangkan seluruh potensi energi baru terbarukan. Itu yang diakomodir di 61 pasal yang ada di RUU EBT. Jadi, RUU EBT merupakan payung hukum untuk pengembangan EBT. Di situ mengatur sedemikian rupa semuanya berjalan secara simultan," tegas Sugeng NasDem.

KEYWORD :

Energi Baru Terbarukan RUU EBT PLTS Atap APBN listrik




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :