Kamis, 25/04/2024 12:20 WIB

Pilkada Bukan Perang Badar, Tapi Pesta Demokrasi!

Penyelenggara pemilu harus melakukan berbagai kegiatan tahapan Pilkada, sekaligus antisipasi bahaya kesehatan akibat virus corona.

Mahasiswa Unhan dan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto.

Jakarta, Jurnas.com - Pilkada serentak 2020 menyimpan potensi konflik yang dipicu oleh berbagai kemungkinan kecurangan. Baik dengan melibatkan penyelenggara pemilu, calon kepala daerah (Cakada) pertahanan, hingga keputusan lembaga pengadilan.

Hal itu disampaikan Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Moch. Afifudin, dalam webinar Universitas Pertahanan (Unhan) Indonesia dalam rangka puncak perayaan Hari Perdamaian Dunia, Senin (21/9/2020).

Selain Afifudin, pembicaranya adalah mahasiswa program doktor Unhan yang juga Sekjen DPP PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto, dan Peneliti LIPI Dr.Adriana Elisabeth.

Kata Afifudin, Pilkada di saat wabah seperti saat ini tidaklah mudah. Di satu sisi lembaga penyelenggara pemilu harus melakukan berbagai kegiatan mulai dari sosialisasi hingga pengawasan lapangan, namun di sisi lain bahaya kesehatan akibat virus corona tetap terbuka. 

"Jadi prasyarat dilaksanakannya pilkada ini adalah jika protokol kesehatan diterapkan, baik penyelenggara, pemilih, maupun peserta," kata Afifudin.

Tentu saja berbagai pembatasan harus dilakukan. Misalnya, untuk pengumpulan massa dalam rapat umum hanya boleh dihadiri 50 orang.

Selain itu, dari sisi anggaran, biayanya menjadi lebih mahal. Sebagai contoh, KPU saja mengajukan anggaran triliunan rupiah demi memastikan petugasnya tak mengidap covid atau terpapar covid ketika turun ke lapangan.

Nah untuk potensi konflik, Bawaslu sudah mengingatkan potensi kekecewaan para bakal calon maupun pendukung yang gagal ditetapkan oleh KPUD setempat di dalam waktu dekat. 

"Misalnya ada calon yang tidak masuk sebagai calon karena ada syarat yang kurang, sehingga mereka kecewa, mereka melakukan unjuk rasa dan seterusnya. Kami mengirim surat ke daerah soal ini. Termasuk calon yang lolos proses selebrasinya jangan berlebihan," ulasnya.

Potensi masalah selanjutnya adalah daftar pemilih tidak akurat. Misalnya ada yang datang ke TPS, tapi tak pernah mengecek namanya di daftar pemilih. Idealnya, sejak awal sudah jelas berapa jumlah pemilih dan surat suara disiapkan. 

"Kalau banyak orang yang harusnya masuk sebagai pemilih, tapi tidak masuk daftar pemilih, ini pasti berpotensi menimbulkan konflik," imbuhnya. 

Titik berikutnya adalah proses pencalonan yang bermasalah. Contoh, seseorang diduga ijazahnya palsu. Biasanya ada ketegangan di sana. "Karena begitu sudah ada calon, maka emosi massa pendukung tentunya jadi satu," imbuhnya.

Di tahapan kampanye, potensi konflik sudah jelas. Sehingga Bawaslu merekomendasikan proses itu benar-benar meminimalisasi jumlah massa.

Di proses penghitungan suara dan rekap hasil penghitungan di TPS juga memiliki potensi konflik yang besar dan kerap membuat situasi panas.

Selanjutnya penyelenggara pilkada yang dinilai tidak adil dan netral. Penyelenggara yang berpihak ini juga jadi sumber masalah, imbuhnya.

Titik selanjutnya adalah kontroversi putusan lembaga peradilan jika ada putusan MA atau MK yang memenangkan calon tertentu.

"Lalu posisi kepala daerah dan wakil kepala daerah incumbent dalam pilkada. Misalnya menggerakkan jajaran birokrasi dan seterusnya," kata Afifudin.

Hasto Kristiyanto mengatakan soal netralitas adalah hal sangat penting menjadi bagian dari pilar untuk membangun sistem pemilu yang demokratis dam menciptakan trust (kepercayaan). Dirinya berharap birokrasi, TNI, Polri, dan Kejaksaan bisa melaksanakannya.

Selain netralitas, pihaknya menganalisa bahwa konflik pilkada juga terjadi karena adanya paham yang dimunculkan bahwa `pemilu adalah perang`.

"Ini harus dihindari. Jangan masukkan wacana rakyat dengan perang, meskipun ini perang demokrasi. Pemilu itu kontestasi. Kami diajarkan oleh Ibu Megawati Soekarnoputri menang juga hanya 5 tahun. Tetapi kalau kalah juga hanya 5 tahun. Kalau kalah kita perbaiki diri sendiri melalui komunikasi politik, kaderisasi, dan ini hanya lima tahun, sementara kalau menang harus penuhi tanggung jawab kepada rakyat," ulas Sekjen DPP PDI Perjuangan itu.

"Jadi, jangan dianggap pemilu termasuk pilkada ini sebagai sebuah perang hidup mati. Itu perlu diluruskan jangan sampai ada analogi salah bahwa pemilu sebagai sebuah perang, perang badar dan sebagainya," pungkasnya.

KEYWORD :

Potensi Konflik Pilkada Serentak 2020 Perang Badar




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :