Kamis, 25/04/2024 02:04 WIB

Perlu Regulasi Kuat Selamatkan Anak dari Jeratan E-Rokok

Prevalensi perokok elektrik penduduk usia 10-18 tahun mengalami kenaikan pesat

ilustrasi seseorang menggunakan rokok elektronik (foto: UPI)

Jakarta, Jurnas.com - Rokok elektronik sudah menyerbu pasar Indonesia dan mulai digandrungi anak dan remaja. Prevalensi perokok elektrik penduduk usia 10-18 tahun mengalami kenaikan pesat. Dari 1,2 persen pada 2016 (Sirkesnas 2016) menjadi 10,9 persen pada 2018 (Data Riset Kesehatan Dasar/Riskesdas 2018).

Hasil Global Youth Tobacco Survey (2019) menunjukkan peredaran rokok elektronik semakin marak. Sebuah penelitian yang dilakukan Bigwanto, dkk (2019) menunjukan 11.8% pelajar menjadi pengguna rokok elektronik. Pelajar mengetahui rokok elektronik dari internet sebesar 15.7% dan sebagian besar mengetahui rokok elektronik dari teman (41,5%).

Industri rokok juga makin agresif mempromosikan rokok elektronik untuk menarik perokok pemula anak dan remaja. Selain membuat variasi aneka rasa yakni manis, mint, dan buah-buahan mereka juga menggunakan influencer para selebram yang banyak memiliki follower anak muda.

Mereka juga bersiasat menjual rasa aman dalam mempromosikan rokok elektrik, salah satunya dengan menyampaikan rokok elektronik 95 persen lebih aman bagi kesehatan dibandingkan rokok biasa. Rokok elektronik juga diposisikan sebagai cara efektif berhenti merokok, sehingga banyak anak muda memilih berpindah dari rokok tembakau kepada rokok elektronik.

Kondisi ini sangat mengkhawatirkan. Karena rokok elektronik mengandung zat-zat kimia berbahaya yang sama banyaknya dengan rokok tembakau dan berpotensi menyebabkan penyakit kronis. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah melakukan studi terkait vape pada 2015 dan 2017. Studi menghasilkan rekomendasi rokok elektrik menimbulkan dampak negatif lebih besar dibandingkan potensi manfaat bagi kesehatan masyarakat. Kandungan e-liquid dan uap vape dapat berakibat negatif untuk kesehatan.

Mirisnya, meskipun sudah dinyatakan berdampak negatif bagi kesehatan, rokok elektronik tetap beredar di pasaran tanpa adanya aturan yang jelas. Hingga saat ini belum ada aturan yang jelas terkait pengaturan atau pengendalian rokok elektronik. Regulasi yang ada hanya terkait penetapan cukai sebesar 57 persen untuk produk rokok elektrik.

Selain belum adanya regulasi yang kuat, masyarakat sendiri masih banyak yang awam tentang dampak negatif rokok elektronik. Lisda Sundari, Ketua Lentera Anak, menyatakan masih banyak orang tua dan guru yang tidak paham rokok elektronik berbahaya bagi kesehatan.

“Karena ketidaktauan ini, tidak sedikit orang tua menelan mentah-mentah informasi bahwa rokok elektronik aman dan bisa membantu orang berhenti merokok. Sehingga ketika mengetahui anaknya mengonsumsi rokok elektronik orang tua cenderung membiarkan saja. Orang tua baru sadar kemudian setelah mereka mendapat penjelasan bahwa rokok elektronik berbahaya,” ujar Lisda dalam Webinar bertajuk “Benarkah Rokok Elektrik Aman” yang digelar Lentera Anak via aplikasi online hari ini (26/6/2020).

Lisda menambahkan, Lentera Anak sejak Juli 2019 sudah menerima sejumlah pengaduan dari orang tua dan guru terkait anak dan siswa yang merokok. Ada orang tua yang syok karena mengetahui anaknya merokok. Ada pula guru yang menemukan ada siswanya yang mulai merokok elektronik.

Dalam salah satu sesi Webinar, Yanti Aprian, petugas kesehatan Puskesmas kabupaten Bogor menyampaikan testimoninya tentang siswa SD yang merokok elektronik. Yanti bercerita, saat ia melakukan penyuluhan masalah rokok di salah satu SD di sekitar Puskesmas Pabuaran Cibinong, Bogor, ia mendengarkan curhat seorang siswa SD kelas 6 yang sudah mencoba merokok elektronik.

“Anak tersebut awalnya hanya mencoba-coba rokok elektronik karena melihat om-nya merokok. Dan ia bilang tidak tau kalau merokok itu berbahaya. Bahkan ia juga mengajak teman-temannya merokok elektronik bersama di halaman belakang sekolah. Kadang-kadang mereka juga merokok di rumahnya,” cerita Yanti. Sang guru dari murid tersebut baru mengetahui siswanya merokok setelah mendapat penjelasan dari Yanti. Mereka merasa kecolongan dan sedih. Apalagi anak tersebut tergolong siswa yang pintar di sekolah.

Menghadapi kondisi ini, Praktisi Kesehatan Masyarakat, dr. Muhammad Ridha, menegaskan sangat penting bagi anak muda waspada dan berhati-hati, serta mampu mengelola lingkungan peer group nya dengan yang baik. “Kelola lingkungan dan inner-circlemu dengan baik, agar dapat menghindarkanmu dari bahaya candu rokok dan napza” tegas dokter Ridho.

Mouhammad Bigwanto, TI Monitoring Focal Point Indonesia, SEATCA, menegaskan pentingnya pemerintah segera membuat regulasi untuk mengatur peredaran dan promosi rokok elektronik. “Di masa-masa sulit seperti sekarang ini, sudah saatnya negara hadir bersama dengan rakyat melindungi generasi masa depannya. Jangan biarkan anak-anak dan remaja kita kembali dijadikan target empuk oleh industri adiktif,” kata Bigwanto.

Lisda Sundari menegaskan pentingnya masyarakat untuk kritis terhadap dampak negatif rokok elektronik. “Saya mendorong orang tua dan guru lebih peduli dan aktif mencari informasi yang benar tentang dampak negatif rokok elektronik,” kata Lisda.

Ia juga mendorong pemerintah untuk segera membuat peraturan tegas untuk mengatur peredaran dan promosi rokok elektronik. Lisda mengutip data Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) pada 2018, terdapat lebih dari 300 produsen cairan vape, dengan lebih dari 150 distributor/importir, 5.000 pengecer, dan 1,2 juta pengguna vape di Indonesia. “Data ini menunjukkan bahwa produsen sangat aktif memasarkan rokok elektronik,” tambahnya.

Lisda menegaskan, saat ini ada lebih dari 20 negara yang telah dengan tegas melarang penjualan rokok elektronik. Thailand menjadi negara yang sangat tegas menerapkan peraturan tentang vape. Thailand bahkan memberikan hukuman penjara 10 tahun bagi siapa pun yang kedapatan menghisap rokok elektronik. Selain itu Departemen Kesehatan Hong Kong yang telah melarang peredaran vape sejak Maret 2009. Warga yang kedapatan memiliki atau menjual rokok elektronik dikenai denda sebesar 100 ribu dollar Hong Kong atau penjara selama dua tahun.

“Regulasi yang kuat sangat diperlukan untuk melindungi anak Indonesia dari dampak negatif rokok elektronik,” kata Lisda.

Sepakat dengan Lisda, Mufti Djusnir, POK Ahli BNN RI, menegaskan larangan rokok elektronik sangat mendesak dibutuhkan. "Negara tetangga kita, Singapura, sudah melarang rokok elektronik untuk melindungi masyarakatnya. Sudah seharusnya Indonesia juga melarang rokok elektronik," pungkasnya.

KEYWORD :

Rokok Elektronik Regulasi Pemerintah Lentera Anak




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :