Sabtu, 20/04/2024 19:18 WIB

Industri Rokok Dinilai Mengambil Keuntungan Ganda dari Anak

Emancipate Indonesia dan Yayasan Lentera Anak mendiseminasi hasil kajian tentang bagaimana industri rokok mengambil keuntungan dari hulu ke hilir melalui pekerja anak dan perokok anak.

Diseminasi “Industri Rokok Meraup Keuntungan Ganda dari Anak: #SaveSmallHands yang berlangsung secara daring, di Jakarta, Selasa (24/08).

Jakarta, Jurnas.com - Emancipate Indonesia dan Yayasan Lentera Anak mendiseminasi hasil kajian tentang bagaimana industri rokok mengambil keuntungan dari hulu ke hilir melalui pekerja anak dan perokok anak.

Di hulu, industri rokok mengambil keuntungan dari daun tembakau yang ditanam, dipanen, dikeringkan dan diolah oleh tangan kecil anak-anak yang bekerja dalam kondisi kerja tidak layak, tidak sehat, dan dengan upah rendah.

Di hilir, industri rokok mengambil keuntungan dari pemasaran produk rokok yang menargetkan anak-anak untuk mengembangkan pangsa pasar mereka.

Ironisnya, industri rokok juga mengambil keuntungan dari penjualan rokok melalui iklan, promosi dan sponsor yang agresif menyasar anak sebagai target konsumen. Sejumlah studi menunjukkan terpaan iklan dan promosi rokok sejak usia dini meningkatkan persepsi positif akan rokok, keinginan untuk merokok, dan mendorong kembali merokok setelah berhenti.

Seperti studi Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (2007) bahwa 46,3 persen remaja mengakui iklan rokok mempengaruhi mereka untuk mulai merokok, serta studi Lembaga Pengawas Kesehatan Publik Amerika Serikat (Surgeon General of the United States) yang menyimpulkan iklan rokok mendorong anak-anak mencoba merokok serta menganggap rokok sebagai hal yang wajar.

Kondisi inilah yang antara lain memicu naiknya angka perokok anak di Indonesia. Prevalensi prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun terus meningkat dari tahun ke tahun, dari 7,2% pada 2013 menjadi 9,1% atau 3,3 juta anak pada 2018 (Riskesdas 2018).

Hasil kajian terbaru Emancipate Indonesia dan Yayasan Lentera Anak pada 2021 menegaskan bagaimana industri rokok telah meraup keuntungan ganda dari anak-anak.

Nadya Noor Azalia, Research & Development Specialist Emancipate Indonesia, memaparkan sejumlah kondisi terkini pekerja anak di perkebunan tembakau yang tidak jauh berbeda dengan kondisi pekerja anak di perkebunan tembakau dalam laporan penelitian Human Rights Watch Indonesia (HRW Report) pada 2016).

Hal ini disampaikan Nadya dalam kegiatan Diseminasi “Industri Rokok Meraup Keuntungan Ganda dari Anak: #SaveSmallHands yang berlangsung secara daring, di Jakarta, hari ini (24/08).

Menurut Nadya, kondisi pertama bahwa faktor ekonomi dan tradisi masih menjadi penyebab utama keterlibatan pekerja anak di perkebunan tembakau.

"Bagi orang tua, keikutsertaan pekerja anak membantu mengurangi beban pengeluaran keluarga dan dapat membiayai uang jajan anaknya," kata Nadya.

Umumnya, lanjut Nadya, anak-anak terbiasa ikut orang tuanya bekerja mengelantang daun tembakau sejak di tingkat Sekolah Dasar, dan bekerja di perkebunan tembakau saat musim panen," kata Nadya.

"Kondisi kedua, para petani dan pekerja anak yang menjadi responden penelitian tidak mengetahui mengenai GTS maupun risiko kesehatan dan keselamatan kerja (K3) yang dihadapi anak-anak," lanjutnya.

Sedangkan kondisi ketiga, tidak ada perubahan signifikan dalam perbandingan jenis pekerjaan, upah, jam kerja, dan risiko kesehatan pekerja anak pada 2016 dan 2021. Jenis pekerjaan yang dilakukan anak di lokasi penelitian antara lain menanam dan memelihara tanaman, memberi pupuk dan pestisida, memanen daun tembakau, menggelantang daun tembakau dan melepaskan daun tembakau yang telah dioven dari tongkat.

"Dalam sehari, anak-anak bisa memperoleh upah Rp. 7.000 sampai Rp. 20.000 tergantung berapa banyak jumlah daun tembakau yang perlu digelantang," ujarnya.

Sementara itu, Nahla Jovial Nisa, program Manager Yayasan Lentera Anak, memaparkan hasil kajian mengenai perokok anak yang menunjukkan hampir 100 persen responden (99,4 persen) pernah melihat iklan rokok.

"Adapun iklan rokok yang paling banyak dilihat responden adalah Sampoerna (40 persen) diikuti iklan rokok Gudang Garam (23 persen, Djarum (26 persen) dan Bentoel (11 persen)," tuturnya.

Nahla juga menjelaskan hasil statistik menunjukkan ada hubungan antara iklan rokok yang diingat dengan merk rokok yang dikonsumsi, sehingga kajian ini merekomendasikan adanya kebijakan pelarangan iklan rokok secara total.

Sementara itu terkait CSR industri rokok, hasil penelitian ini menegaskan bahwa industri rokok di Indonesia lebih memilih melakukan CSR-Washing atau menunggangi istilah CSR untuk mencapai tujuan yang bertentangan dengan pembangunan berkelanjutan.

Diantaranya, dengan melakukan manuver meraih dukungan publik melalui pendanaan dan keanggotaan di lembaga non-pemerintah seperti Eliminating Child Labour in Tobacco Growing (ECLT) Foundation, yang mengklaim melakukan upaya pencegahan pekerja anak di perkebunan tembakau.

Aktivitas ECLT yang seharusnya menegakkan prinsip bisnis dan HAM, justru yang terjadi cenderung menormalisasi praktik eksploitatif industri terhadap anak dari hulu ke hilir.

Karena itu, hasil kajian Emancipate Indonesia dan Lentera Anak merekomendasikan perlunya sinergi pemerintah, lembaga non-pemerintah, masyarakat dan komunitas internasional untuk menghentikan dan melarang eksploitasi dan manipulasi industri rokok yang menargetkan anak-anak, seperti iklan, promosi dan sponsor rokok, termasuk CSR dan lembaga yang didanai oleh perusahaan rokok.

Beberapa langkah utama yang dapat dilakukan adalah menolak kerja sama dengan perusahaan rokok, meningkatkan komitmen pemerintah sebagai duty bearer untuk memastikan akuntabilitas industri rokok dalam kegiatan bisnisnya yang merugikan anak-anak, dan meningkatkan kolaborasi pemerintah dan masyarakat sipil dalam menegakkan prinsip bisnis dan HAM.

Menaggapi kondisi para pekerja anak di perkebunan tembakau ini, Jasra Putra, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak, yang menjadi narasumber penanggap pertama, menyatakan bahwa berdasarkan UU No 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak pasal 45 B, baik Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, dan orang tua wajib melindungi anak dari segala perbuatan yang menggangu kesehatan dan tumbuh kembang anak.

“Negara harus hadir untuk menarik anak dari pertanian tembakau. Apalagi dengan kondisi Pandemi ini, anak-anak semakin rentan untuk bekerja termasuk di sektor berbahaya,” tegas Jasra yang juga Ketua Bidang Pengawasan dan Monitoring Evaluasi (Wasmonev).

Azhar Zaini, Ketua Yayasan Gagas Mataram, yang menjadi penanggap kedua, menyatakan bahwa fenomena pekerja anak di Lombok tidak terlepas dari adanya permintaan dan penawaran dari petani tembakau.

Hal ini menurut Azhar, tidak terlepas kondisi petani tembakau yang tidak sejahtera, sehingga, petani tembakau cenderung untuk mengurangi ongkos produksi dengan cara melibatkan anak sebagai pekerja.

“Persoalan pekerja anak tidak akan selesai jika kesejahteraan petani dan posisi tawar petani tidak kuat,” tegas Azhar.

Azhar, yang juga juru bicara Aliansi Perlindungan Anak untuk Darurat Perokok menyatakan bahwa dari hasil penelitian SMERU yang dibiayai ECLT terkait program kesempatan, ditemukan bahwa pekerja anak yang ditemukan pada saat panen tembakau bisa mencapai 70,4 persen, semenara di luat panen tembakau hanya 9,8 persen.

Namun Azhar menyatakan bahwa kehadira ECLT yang melakukan studi untuk meneliti tentang pekerja anak haya sekedar pemanis atau lips service, apalagi desa yang didampingi juga hanya sedikit.

“Dengan CSR rokok melalui ECLT, seolah-olah industri rokok merasa mereka sudah memenuhi tanggung jawabnya. Seharusnya tidak perlu melibatkan industri tembakau dan harus ada strategi yang kita lakukan bersama untuk menyelesaikan persoalan pekerja anak dan menghentikan startegi pemasaran yang menyasar anak,” tegas Azhar.

Gustika Jusuf-Hatta, aktivis muda yang bergiat sebagai anggota IYCTC, sepakat dengan hasil kajian Lentera Anak yang menyatakan bahwa iklan rokok mempengaruhi persepsi anak muda dalam memilih brand rokok yang dikonsumsi.

Gustika juga secara tegas menyatakan bahwa kita tidak bisa hanya sekedar menyalahkan anak dalam persoalan maraknya perokok anak. “Justru Negara harus hadir dalam bentuk adanya regulasi dan kebijakan untuk melindungi anak dari strategi pemasaran industri rokok,” tambah Justika.

Sementara itu, Marry Assunta, selaku Senior Policy Advisor Seatca, menegaskan bahwa selama ini industri rokok hanya sekedar melakukan CSR dan tidak melakukan langkah-langkah tegas untuk menghapuskan pekerja anak dan melarang iklan, promosi dan sponsor rokok untuk memasarkan produk rokok.

“Industri rokok harus benar-benar mendapat sanksi dan disinsentif karena tidak menolak adanya pekerja anak di perkebunan tembakau. Ini sangat berbeda dengan perusahaan lain yang secara tegas menolak adanya pekerja anak (zero tolerance). Pada tahun 2025 pekerja anak harus benar-benar dihentikan,” tegas Mary.

KEYWORD :

Industri Rokok Lentera Anak Hasil Penelitian




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :