Jum'at, 13/12/2024 07:42 WIB

Opini

FPI Bubar Atau Jadi Parpol

Melihat potensi yang dimiliki, sebaiknya FPI melakukan metamorfosis, dari sekadar ormas menjadi partai politik.

Moh. Syaeful Bahar

Moh. Syaeful Bahar*

Beberapa minggu yang lalu ramai diperdebatkan sebuah petisi online yang bertujuan mencabut kewarganegaraan Habib Rizieq Shihab (HRS). Saya tak tertarik dengan pengantar petisi yang menyatakan bahwa HRS memiliki afiliasi pada ISIS. Terlalu jauh. Saya kira tak mudah menuduh dan mengatakan bahwa HRS memiliki afiliasi dengan ISIS. Perlu bukti yang kuat untuk membenarkan tuduhan itu.

Saya juga tak terlalu tertarik dengan isi petisi yang meminta pencabutan kewarganegaraan HRS. Karena, saya kira tidak mudah mencabut kewarganegaraan seorang WNI. Apalagi hanya "dihukum" dengan sebuah petisi online. Hanya ranah hukum yang patut menentukan. Hanya pengadilan yang berhak menentukan pencabutan kewarganegaraan seseorang. Intinya, hukumlah yang menentukan, seseorang pantas dicabut kewarganegaraannya atau tidak.

Dalam tulisan ini, saya ingin membicarakan posisi dan eksistensi FPI sebagai sebuah ormas dan HRS sebagai pemimpin tertingginya.

HRS dan FPI Dalam Sorotan

Mungkin semua rakyat Indonesia pernah mendengar nama HRS dan FPI. Jika diberikan dua pilihan mendukung atau menolak eksistensi FPI dan HRS, saya yakin, masyarakat juga akan terbelah, antara mereka yang menolak, mendukung atau acuh, tak ambil pusing.

Sosok HRS dan eksistensi FPI memang penuh warna. Siapapun tahu tentang gaya HRS yang meledak-ledak, bahkan kadang pasang badan untuk konfrontasi. Bukan hanya Jokowi, sang presiden yang pernah disemprot HRS, disebut-sebut sebagai rezim yang jahat, tak berpihak pada ummat Islam dan mengkriminalisasi ulama, SBY pun pernah diancam akan digulingkan oleh FPI. Tidak hanya Jokowi dan SBY, almarhum Gus Dur saja pernah divonis dan dikatakan buta mata dan buta hati oleh HRS.

Bagi sebagian orang, gaya HRS dianggap keterlaluan, tak memiliki sopan santun dan adat ketimuran. Dianggap tokoh yang mengobarkan permusuhan, eksklusif dan provokatif. Namun bagi sebagian yang lain, terutama bagi para pengikutnya, gaya HRS dinilai sebagai cerminan ketegasan dan keikhlasan. HRS dianggap tak peduli dengan penilaian penguasa, HRS dianggap ikhlas dimusuhi kekuasaan, dijahui kekuasaan dalam rangka menegakkan amar ma`ruf nahi mungkar.

FPI setali tiga uang dengan HRS. Penuh kontroversi. Eksistensi FPI juga disorot. FPI dianggap organisasi huru hara. FPI dituduh tak pandai menempatkan diri, bahkan juga dianggap over lapping dengan tugas penegak hukum. FPI dianggap sok sebagai penegak hukum, penegak kebenaran, tapi dengan cara yang tidak benar. Melanggar aturan, menabrak ketentuan. Beberapa kasus FPI mempersekusi kelompok minoritas hingga ke swiping yang dilakukan adalah cermin buruk yang dituduhkan ke FPI. Berita-berita tentang kekerasan yang dilakukan oleh anggota FPI sangat mudah ditemukan dalam jejak digital berbagai media online.

Namun begitu, beberapa program kemanusiaan juga bisa ditemukan dalam kegiatan-kegiatan FPI, berita tentang kegiatan-kegiatan dimaksud dapat ditemukan dengan mudah, terutama di media-media yang memang dikelola oleh FPI. Misal, tentang kegiatan bantuan kemanusian yang dilakukan oleh anggota FPI di beberapa titik bencana yang pernah terjadi di tanah air.

Kontroversi HRS dan FPI semakin tajam ketika mereka menjadi salah satu organ terpenting dalam dukungan ke pasangan calon Presiden Prabowo-Sandiaga Uno.

Hampir semua panggung kampanye paslon 02 ini disemarakkan oleh simpatisan FPI. Dalam pengamatan saya, FPI jauh lebih besar kontribusinya dibandingkan partai politik Koalisi Indonesia Adil dan Makmur, apalagi dalam hal mengerahkan dan mengumpulkan massa yang besar. Saya rasa FPI lah yang paling berhasil mengorganisir massa untuk kepentingan kampanye Prabowo-Sandi. Tentu pendapat saya ini patut disangkal, dan didebat kebenarannya. Tapi, melihat realitas konstelasi politik di saat Pilpres digelar, pendapat saya berhak mendapat tempat.

Lihat saja, isu dan narasi yang dikampanyekan oleh paslon 02 tak lepas dari warna ideologi dan cara berpikir FPI. Isu agama, isu anti komunisme dan bahkan bahaya monopoli ekonomi oleh etnis minoritas adalah warna FPI. Semua tahu, selain isu NKRI bersyariah, FPI juga sangat reakrif dengan isu komunisme dan ketimpangan ekonomi, tentang penguasaan sumber-sumber ekonomi oleh kelompok etnis tertentu.

Bahkan, untuk sekadar menunjukkan sikap hormat dan membela FPI, Prabowo pernah menyatakan bahwa, jika dia terpilih sebagai presiden, dia yang akan menjemput sendiri kepulangan HRS dari Arab Saudi kembali ke tanah air.

Beberapa elit politik juga melakukan hal yang sama. Politisi Gerindra, PKS dan PAN berlomba-lomba sowan, datang ke HRS di Arab Saudi. Mulai dari Amin Rais, Habib Salim Assegaf al Jufri hingga Fadli Zon dan Fahri Hamzah, semua sowan ke HRS.

Semua ini, menunjukkan betapa kuat pengaruh HRS dan FPI di mata para politisi pendukung Prabowo-Sandi.

Seakan-akan tanpa HRS dan FPI, BPN Prabowo-Sandi kehilangan darah segar perjuangan.

Pasca Pilpres, dukungan dan penolakan pada eksistensi FPI dan HRS dipastikan meningkat, semakin mengeras. Kelompok yang menolak semakin keras menolak, sedang kelompok yang mendukung semakin kuat mendukung. Berikut juga dengan kader FPI, mereka semakin kuat terkonsolidasi dan semakin fanatik, sedang kelompok yang terang-terangan menolak juga semakin solid untuk melakukan penghadangan pada ekspansi pengaruh FPI.

Baiknya FPI Jadi Partai Politik

Melihat potensi yang dimiliki oleh FPI serta agar lebih elegan dalam melaksanakan perintah amar ma`ruf nahi mungkar, sebaiknya FPI melakukan metamorfosis, dari sekadar ormas menjadi partai politik.

Berbagai alasan patut disampaikan untuk mendukung metamorfosis FPI menjadi partai politik.

Pertama, FPI memiliki sosok HRS yang berhasil menjadi simbol politik Islam. Terlepas dari pro dan kontra atas rekam jejak HRS, namun, nyatanya, HRS mendapat tempat di hati sebagian masyarakat. Mereka fanatik dan solid mendukung HRS.

Kedua, FPI telah lama ada. Akar massa yang dirawat juga terbukti kuat, mengakar di bawah. Kepengurusan FPI juga relatif rapi, hingga ke daerah-daerah. Maka bukan hal sulit untuk menertibkan administrasi untuk memenuhi ketentuan pendirian sebuah partai politik sebagaimana ketentuan undang-undang.

Ketiga, FPI memiliki isntrumen kampanye yang cukup lengkap. Mereka punya media TV untuk menyapa anggotanya. FrontTV namanya. Belum lagi media online yang serius digarap oleh kader-kader FPI. Semuanya bisa memudahkan FPI untuk mengkonsolidasi kepentingan FPI, jika berubah menjadi partai politik.

Keempat, ideologi FPI yang cendrung konservatif masih laku di tengah-tengah masyarakat. Sebagian masyarakat masih meyakini bahwa Islam konservatif yang mengusung syariah sebagai solusi semua persoalan di Indonesia layak diperjuangkan. Mereka tersebar di berbagai daerah, terutama di daerah yang memiliki ikatan sejarah kuat dengan Sarekat Islam. Dari sisi lambang saja, FPI dan lambang Sarekat Islam sangat identik, sama-sama bergambar bintang dan bulan sabit berwarna hijau.

Empat alasan di atas adalah sebagian kecil dari alasan FPI pantas menjadi partai politik. Selain itu, dengan berubah menjadi partai politik, FPI tak akan lagi bekerja secara serampangan dalam menegakkan "keadilan dan Islam" versi FPI. FPI akan terikat dan tertib dalam rule of game sebagai partai politik. Namun, dengan berubah menjadi partai politik, FPI akan lebih leluasa memperjuangkan ideologi mereka.

Dan yang terpenting, ketika menjadi partai politik, akan jelas seberapa besar pengaruh FPI dan seberapa banyak pengikut HRS.

*Penulis adalah Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya dan Pengurus Cabang NU Bondowoso.

KEYWORD :

FPI Rizieq Shihab Partai Politik




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :