Jum'at, 13/12/2024 07:02 WIB

PBB Desak Dunia Akhiri Dukung Militer Myanmar

Ribuan Muslim terbunuh dalam penumpasan itu dan sekitar 800.000 Rohingya melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh, tempat mereka saat ini tinggal di kamp-kamp dalam kondisi yang mengerikan.

Militer Myanmar saat menghadapi warga muslim Rohingya (Foto: Reuters)

Jakarta, Jurnas.com - Misi pencari fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Myanmar menyerukan kepada semua negara untuk memutus hubungan keuangan dan lainnya dengan militer negara itu atas genosida yang menargetkan minoritas Muslim Rohingya.

Muslim Rohingya di Myanmar telah menghadapi kekerasan mengerikan sejak 2012. Pada 2017-18, Negara Rakhine khususnya adalah tempat penumpasan terorganisir terhadap Muslim oleh gerilyawan militer dan Buddha negara tersebut.

Ribuan Muslim terbunuh dalam penumpasan itu dan sekitar 800.000 Rohingya melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh, tempat mereka saat ini tinggal di kamp-kamp dalam kondisi yang mengerikan.

Pada Selasa (14/05), Misi Pencari Fakta Internasional Independen PBB untuk Myanmar melaporkan tidak adanya kemajuan untuk menyelesaikan krisis Rohingya. "Situasinya benar-benar macet," ujar Marzuki Darusman, ketua misi dikutip PressTV.

Pengacara hak asasi manusia Australia dan anggota panel Christopher Sidoti mengatakan, karena beratnya masa lalu dan pelanggaran yang berkelanjutan, perhatian harus diberikan pada ikatan politik, ekonomi dan keuangan militer Myanmar, untuk mengidentifikasi siapa dan apa yang harus menjadi sasaran.

"Seruan itu bertujuan untuk memotong pasokan uang dalam upaya untuk meningkatkan tekanan pada militer dan berpotensi mengurangi kekerasan terhadap Muslim," ujar Sidoti.

Sebelumnya, Uni Eropa (UE) pada 29 April memperpanjang sanksi, termasuk embargo senjata, terhadap Myanmar selama satu tahun atas masalah yang sama.

Tahun lalu, misi pencarian fakta PBB mengatakan kampanye melawan Rohingya dirancang dengan niat genosida. Mereka mendesak menuduh panglima militer Myanmar dan lima jenderal lainnya dengan kejahatan paling kejam di bawah hukum internasional.

Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) telah membuka pemeriksaan pendahuluan atas kekerasan tersebut. Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi menolak misi pencari fakta ketika misi itu dibentuk oleh dewan HAM PBB pada Maret 2017.

Juru bicara militer Mayor Jenderal Tun Tun Nyi menolak laporan misi itu sebagai gangguan. "Negara kami adalah negara merdeka, jadi kami tidak menerima hal-hal yang kami campur tangan," katanya.

KEYWORD :

Badan PBB Militer Myanmar Muslim Rohingya




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :