Sundari | Minggu, 09/09/2018 10:38 WIB
Militer Myanmar saat menghadapi warga muslim Rohingya (Foto: Reuters)
Ankara – Myanmar mengabaikan putusan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) yang berpusat di Belanda. Pasalnya, ada unsur kejahatan terhadap masyarakat Rohingya.
“Pengadilan memiliki yurisdiksi atas kejahatan kemanusiaan dugaan deportasi yang dilakukan terhadap masyarakat
Rohingya,” ujar pengadilan yang bermarkas di Den Haag itu, lewat pernyataan resminya pada Kamis.
“Alasannya, unsur kejahatan ini–melewati perbatasan–terjadi di sebuah negara [Bangladesh],” tambah dia.
Pernyataan tersebut mengatakan, itu, “barangkali pelaksanaan yurisdiksinya terkait kejahatan lain yang ditetapkan dalam pasal 5 Statuta [ICC Roma], seperti kejahatan terhadap kemanusiaan persekusi dan/atau tindakan tidak manusiawi lainnya.”
Namun, pemerintah
Myanmar mengabaikan keputusan ICC.
Myanmar kembali menegaskan posisinya, bahwa itu bukan bagian Statuta Roma, dan tidak berkewajiban untuk menghormati putusan pengadilan," kata Kantor Presiden
Myanmar dalam siaran pers, Jumat.
“
Myanmar menegaskan kembali bahwa pihaknya tidak mendeportasi orang-orang di wilayah yang disebutkan, dan faktanya bekerja keras bersama Bangladesh untuk memulangkan mereka,” ujar siaran pers.
"
Myanmar menegaskan kembali bahwa pihaknya tidak mendeportasi orang-orang di daerah-daerah yang dikhawatirkan dan sebenarnya telah bekerja keras dalam kerja sama dengan Bangladesh untuk memulangkan mereka yang mengungsi dari rumah mereka," kata siaran pers.
Keputusan ICC datang sepekan setelah
PBB merilis laporan yang mendokumentasikan perkosaan massal, pembunuhan–termasuk bayi dan anak-anak–pemukulan brutal dan penculikan yang dilakukan oleh pasukan negara
Myanmar. Dalam laporannya, penyelidik
PBB mengatakan bahwa pelanggaran tersebut bisa jadi merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Misi Pencari Fakta Internasional Independen
PBB di
Myanmar meminta para pejabat militer penting
Myanmar, termasuk Panglima Angkatan Darat Jenderal Min Aung Hlaing, untuk diadili di Pengadilan Pidana Internasional, karena genosida yang dilakukan terhadap Muslim
Rohingya.
Sejak 25 Agustus 2017, sekitar 24.000 Muslim
Rohingya telah dibunuh oleh pasukan negara
Myanmar, menurut Badan Pembangunan Internasional Ontario (OIDA).
Dalam laporannya baru-baru ini, Forced Migration of
Rohingya: The Untold Experience, OIDA menaikkan perkiraan jumlah
Rohingya yang terbunuh menjadi 23.962 (± 881), dari angka Doctors Without Borders sebesar 9.400.
Lebih dari 34.000 orang
Rohingya juga dilemparkan ke api, sementara lebih dari 114.000 lainnya dipukuli, kata laporan OIDA, menambahkan bahwa 17.718 (± 780) perempuan
Rohingya diperkosa tentara dan polisi
Myanmar. Lebih dari 115.000 rumah
Rohingya juga dibakar dan 113.000 lainnya dirusak.
Menurut Amnesty International, lebih dari 750.000 pengungsi
Rohingya, sebagian besar anak-anak dan perempuan, melarikan diri dari
Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh, setelah pasukan
Myanmar melancarkan tindakan keras terhadap komunitas Muslim minoritas itu.
Rohingya, yang digambarkan
PBB sebagai orang-orang yang paling teraniaya di dunia, menghadapi ketakutan yang meningkat karena puluhan orang terbunuh dalam kekerasan komunal pada 2012.
PBB mendokumentasikan perkosaan massal, pembunuhan–termasuk bayi dan anak kecil–pemukulan brutal, dan penculikan yang dilakukan oleh pasukan negara
Myanmar. Dalam laporannya, penyelidik
PBB mengatakan bahwa pelanggaran tersebut bisa jadi merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. (AA)
KEYWORD :
Rohingya Perempuan PBB Myanmar