Senin, 28/07/2025 17:13 WIB

Hari Hepatitis Sedunia 2025, Sejarah dan Makna di Baliknya

Setiap tahun, Hari Hepatitis Sedunia (World Hepatitis Day) diperingati pada 28 Juli, bertepatan dengan hari kelahiran Prof. Dr. Baruch Blumberg, penemu virus hepatitis B dan pengembang vaksin pertamanya.

Hari Hepatitis Sedunia atau World Hepatitis Day (Foto: RRI)

Jakarta, Jurnas.com - Setiap tahun, Hari Hepatitis Sedunia (World Hepatitis Day) diperingati pada 28 Juli, bertepatan dengan hari kelahiran Prof. Dr. Baruch Blumberg, penemu virus hepatitis B dan pengembang vaksin pertamanya. Peringatan ini bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan ajakan global untuk mempercepat langkah konkret mengakhiri hepatitis sebagai ancaman kesehatan masyarakat dunia pada 2030.

Di balik nama besar Dr. Blumberg yang meraih Nobel atas jasanya dalam dunia medis, tersimpan urgensi yang nyata: lebih dari 1,4 juta kematian setiap tahun akibat hepatitis, dan jutaan lainnya yang belum terdiagnosis atau mendapat pengobatan tepat waktu.

Peringatan ini awalnya jatuh pada 19 Mei, namun sejak 2010 dipindah ke 28 Juli sebagai penghormatan terhadap Dr. Blumberg. Beliau bukan hanya menemukan virus hepatitis B, tetapi juga berjasa dalam membuka jalan menuju pengendalian penyakit yang merenggut nyawa secara diam-diam.

Dikutip dari laman WHO dan Kemenkes RI, tahun ini, Hari Hepatitis Sedunia mengangkat tema global “Let’s Break It Down” dan tema nasional “Bergerak Bersama, Putuskan Penularan Hepatitis”. Tema tersebut menekankan perlunya aksi nyata lintas sektor untuk memutus rantai penularan dan mempercepat eliminasi hepatitis sebagai ancaman kesehatan publik.

Virus hepatitis, terutama tipe B dan C, menjadi penyebab utama kanker hati yang kini menjadi salah satu pembunuh terbesar di dunia. Meski berbahaya, penyakit ini sebenarnya dapat dicegah, dideteksi dini, bahkan disembuhkan dengan pengobatan modern.

Sayangnya, jutaan orang di dunia masih belum menyadari bahwa mereka terinfeksi. Ketidaktahuan ini membuat virus terus menular secara diam-diam dan berisiko berkembang menjadi sirosis atau kanker hati.

Data WHO mencatat lebih dari 254 juta orang hidup dengan hepatitis B kronis, dan sekitar 50 juta dengan hepatitis C kronis secara global. Sementara di Indonesia, sekitar 6,7 juta penduduk terinfeksi hepatitis B dan 2,5 juta lainnya hepatitis C.

Tingginya angka ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu dari tiga negara dengan beban hepatitis B terbesar di dunia, bersama Tiongkok dan India. Oleh karena itu, keberhasilan Indonesia dalam mengeliminasi hepatitis akan memberikan dampak signifikan bagi kesehatan global.

Kementerian Kesehatan RI terus memperkuat langkah melalui skrining, imunisasi, dan pengobatan berbasis bukti. Tahun 2023, prevalensi hepatitis B berhasil ditekan dari 7,1 persen menjadi 2,4 persen, menunjukkan tren positif dalam penanggulangan.

Capaian ini juga didukung oleh meningkatnya skrining pada ibu hamil hingga 89,6 persen dan imunisasi HB0 serta HBIg pada lebih dari 93 persen bayi dalam 24 jam pertama kelahiran. Ini menjadi langkah krusial dalam mencegah penularan dari ibu ke anak.

Selain itu, cakupan imunisasi untuk tenaga kesehatan juga diperluas, dan pemberian antivirus Tenofovir bagi ibu hamil kini tersedia di lebih dari 200 kabupaten dan kota. Untuk hepatitis C, terapi Direct Acting Antiviral (DAA) yang mampu menyembuhkan lebih dari 95 persen pasien telah tersedia di puluhan rumah sakit di seluruh provinsi.

Meski begitu, tantangan masih besar, terutama di wilayah dengan akses layanan kesehatan terbatas seperti Papua dan Maluku. Oleh karena itu, pendekatan berbasis komunitas menjadi sangat penting agar edukasi dan pengobatan menjangkau semua lapisan masyarakat.

Prof. David H. Muljono dari Komite Ahli Hepatitis Kemenkes RI menekankan pentingnya strategi yang disesuaikan dengan karakteristik lokal. Ia menilai bahwa desentralisasi layanan menjadi kunci agar diagnosis dan terapi dapat diakses hingga tingkat puskesmas.

Ia juga menyoroti perlunya melibatkan tokoh adat, tokoh agama, serta organisasi lokal dalam memperluas jangkauan edukasi dan menghapus stigma terhadap penderita hepatitis. Kolaborasi ini akan mempercepat penemuan kasus baru dan mendorong lebih banyak orang untuk mencari pengobatan.

Untuk itu, Kementerian Kesehatan menggalang gerakan nasional berbasis empat pendekatan: edukasi, skrining, perluasan akses layanan, dan penghapusan stigma. Semua pihak diajak untuk berkontribusi, mulai dari tenaga kesehatan, akademisi, hingga media dan masyarakat umum.

Peringatan Hari Hepatitis Sedunia bukan sekadar simbolik, melainkan momentum kolektif untuk menyelamatkan masa depan. Dengan memperkuat deteksi dini, memperluas cakupan vaksinasi, dan mempercepat pengobatan, Indonesia memiliki peluang besar untuk mencapai eliminasi hepatitis pada 2030.

Namun keberhasilan upaya ini tak hanya bergantung pada pemerintah. Partisipasi aktif masyarakat dalam memanfaatkan layanan kesehatan, melakukan skrining, dan menyebarkan informasi yang benar akan menjadi penentu utama. (*)

KEYWORD :

Hari Hepatitis Sedunia 28 Juli Peringatan Hari Hepatitis




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :