
Ilustrasi - orang yang memiliki gaya hidup serba boros (Foto: Istock)
Jakarta, Jurnas.com - Di era modern, pola hidup konsumtif semakin mudah ditemui di sekitar kita, bahkan mungkin tanpa kita sadari sudah menjadi bagian dari keseharian.
Fenomena ini dikenal dengan istilah konsumerisme, yaitu kecenderungan untuk membeli dan mengonsumsi barang atau jasa secara berlebihan, bukan semata-mata karena kebutuhan, tetapi lebih karena keinginan atau dorongan gaya hidup.
Contoh sederhana konsumerisme bisa kita lihat dari kebiasaan belanja online yang impulsif, mengganti gawai atau pakaian hanya demi tren terbaru, atau membeli produk branded demi gengsi sosial.
Di media sosial, gaya hidup konsumtif ini sering dipamerkan lewat unggahan foto liburan mewah, koleksi barang mahal, atau kuliner kekinian. Meski terlihat menyenangkan, pola ini diam-diam bisa memunculkan efek negatif yang tak sedikit.
Dikutip dari beberapa sumber, dampak buruk dari konsumerisme tak hanya merugikan secara finansial, seperti boros, terlilit utang, atau kehilangan kontrol pengeluaran, tetapi juga membawa dampak psikologis.
Banyak orang akhirnya merasa cemas, kurang puas, bahkan depresi ketika tak mampu mengikuti standar gaya hidup yang mereka lihat atau inginkan.
Lebih jauh lagi, konsumerisme juga berdampak pada lingkungan, mulai dari meningkatnya sampah elektronik, limbah fashion, hingga eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran.
Mengenali pola konsumsi diri sendiri adalah langkah awal untuk mengurangi dampak negatif konsumerisme. Dengan lebih bijak membedakan antara kebutuhan dan keinginan, serta mengedepankan kesadaran akan dampak jangka panjang, kita bisa mulai membangun gaya hidup yang lebih sehat, hemat, dan berkelanjutan.
Karena pada akhirnya, kebahagiaan sejati tidak selalu diukur dari apa yang kita beli, tetapi dari bagaimana kita menghargai apa yang sudah dimiliki.
KEYWORD :Konsumerisme keuangan psikologis lingkungan