Minggu, 20/07/2025 04:17 WIB

Bagaimana Hukum Mengadopsi Anak dalam Islam?

Dalam sejarah Islam, praktik mengangkat anak bukanlah hal baru. Jauh sebelum Islam datang, masyarakat Arab telah mengenal tradisi adopsi dengan cara menganggap anak angkat seperti anak kandung.

Ilustrasi mengadopsi anak (Foto: Pexels/Pixabay)

Jakarta, Jurnas.com - Bagi sebagian pasangan, kehadiran anak dianggap sebagai simbol kesempurnaan sebuah keluarga. Karena itu, banyak yang menempuh jalan adopsi ketika belum atau tidak dikaruniai keturunan.

Adopsi anak sering dianggap sebagai tindakan mulia, tapi bagaimana pandangan Islam terhadap praktik ini? Apakah diperbolehkan secara syariat? Dalam konteks Islam, adopsi bukan sekadar soal kasih sayang, tapi juga terkait hak-hak syar’i seperti nasab, waris, hingga identitas hukum anak.

Belakangan ini, istilah adopsi anak kembali mengemuka setelah Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Barat memngungkap sindikat perdagangan bayi lintas negara. Sedikitnya 25 bayi menjadi korban dalam kasus ini. Bayi-bayi tersebut diadopsi secara ilegal dan dikirim ke luar negeri, khususnya ke Singapura.

Sementara itu, dalam sejarah Islam, praktik mengangkat anak bukanlah hal baru. Jauh sebelum Islam datang, masyarakat Arab telah mengenal tradisi adopsi dengan cara menganggap anak angkat seperti anak kandung.

Anak angkat dalam tradisi jahiliyah biasanya dinasabkan kepada ayah angkatnya dan diperlakukan layaknya keturunan sendiri. Mereka pun mendapatkan hak-hak seperti warisan, bahkan status mahram.

Nabi Muhammad saw sendiri pernah mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anak angkat dan menyatakan bahwa Zaid adalah putranya. Sejak saat itu, masyarakat pun mengenalnya sebagai Zaid bin Muhammad.

Namun, praktik ini kemudian dikoreksi langsung oleh wahyu. Al-Qur’an menurunkan dua ayat dalam surat Al-Ahzab untuk meluruskan pemahaman ini.

Firman Allah swt:
“Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongganya... dan Dia tidak menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandungmu...”
(QS. Al-Ahzab [33]: 4)

Dilanjutkan pada ayat berikutnya:
“Panggillah mereka (anak angkat) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang adil di sisi Allah...”
(QS. Al-Ahzab [33]: 5)

Kisah Zaid pun menjadi contoh nyata perubahan ini. Ibnu Umar meriwayatkan bahwa sebelumnya para sahabat memanggil Zaid dengan nama Zaid bin Muhammad hingga turun ayat tersebut.

Sejak saat itu, Zaid kembali disebut sebagai Zaid bin Haritsah. Maka, nasab anak dalam Islam tidak bisa dipindah atau diganti, bahkan dengan alasan kasih sayang sekalipun.

Larangan ini ditegaskan pula oleh sabda Nabi Muhammad saw:
“Siapa yang mengakui seseorang yang bukan bapaknya sebagai bapaknya, maka surga baginya haram.”
(HR. Bukhari)

Pandangan ini dikuatkan oleh sejumlah ulama kontemporer. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah menyebut bahwa ayat ini bertujuan mengikis tradisi adopsi jahiliyah dan menjaga kejelasan identitas seseorang.

Gus Baha bahkan menilai bahwa adopsi dalam bentuk mengubah nasab berpotensi menimbulkan mudarat. Ketidakjelasan nasab bisa berdampak serius pada hukum waris, pernikahan, hingga status mahram.

Meski begitu, Islam tetap mendorong umatnya untuk menyayangi dan membantu anak-anak yang membutuhkan. Dalam syariat, ini dikenal dengan konsep kafalah.

Kafalah adalah bentuk pengasuhan anak tanpa mengubah identitas atau nasabnya. Anak tetap mendapatkan kasih sayang, perlindungan, dan hak atas pendidikan serta kehidupan yang layak.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menegaskan bahwa adopsi diperbolehkan selama tidak mengubah nama atau nasab anak. Adopsi dalam bentuk sosial justru termasuk perbuatan terpuji dan bagian dari amal salih.

Dalam konteks ini, orang tua angkat tetap bisa memberikan warisan melalui hibah atau wasiat maksimal sepertiga dari total harta. Namun, anak angkat tidak otomatis mendapat hak waris syar’i seperti anak kandung.

Mahmud Syaltut dalam Al-Fatawa juga menyebut bahwa pengasuhan anak sangat dianjurkan selama tidak mengubah status hukum anak tersebut. Nasab anak tetap merujuk pada ayah kandungnya.

Dengan begitu, Islam memberikan ruang yang luas untuk menyayangi dan merawat anak-anak terlantar. Namun kasih sayang itu tidak boleh menabrak garis batas hukum yang ditetapkan oleh syariat.

Adopsi anak dalam Islam bukan soal larangan mutlak, tapi soal bagaimana menjaga keadilan dan kejelasan hukum. Karena dalam Islam, niat baik harus berjalan beriringan dengan aturan yang benar. (*)

Wallohu`alam

Sumber: Tafsir Alquran

KEYWORD :

Adopsi Anak Islam nasab anak angkat hukum waris anak adopsi




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :