Sabtu, 12/07/2025 10:21 WIB

Saat Utang Tak Lagi Soal Kebutuhan, Tapi Soal Gengsi

Sebuah survei dari situs keuangan pribadi Credit Karma mengungkap fakta mencengangkan

Ilustrasi - berutang demi mendapatkan kehidupan mewah (Foto: REUTERS)

Jakarta, Jurnas.com - Sebuah survei dari situs keuangan pribadi Credit Karma mengungkap fakta mencengangkan, hampir 40 persen generasi milenial di dunia modern rela menghabiskan uang yang bahkan belum mereka miliki, alias berutang demi memenuhi tuntutan gaya hidup dan menjaga relasi sosial.

Mulai dari liburan, pesta, hangout malam, hingga resepsi pernikahan menjadi alasan utama mereka membelanjakan dana secara impulsif. Lebih dari itu, tidak sedikit pula yang berani berutang untuk membeli makanan kekinian, pakaian bermerek, gadget terbaru, perhiasan, hingga kendaraan pribadi.

Dikutip dari Tempo, Menurut David Graeber seorang antropolog ekonomi asal Amerika Serikat, konsep utang kini telah meluas jauh dari akar asalnya.

Dahulu, utang hanyalah bagian dari hubungan sosial sederhana atau balas jasa, sistem barter, hingga interaksi ekonomi dasar antarmanusia. Namun seiring kompleksitas zaman, utang kini merambah ke semua lini kehidupan: dari individu, pasar, hingga negara.

Sayangnya, berutang tanpa dasar kebutuhan mendesak bisa menjadi bencana jangka panjang. Apalagi bila motivasinya sekadar demi gengsi, agar terlihat sejajar dengan orang-orang di sekitar yang mungkin telah mapan secara finansial. Sementara si peniru sendiri belum memiliki pendapatan tetap—tentu hasilnya bisa fatal.

Gaya hidup konsumtif ternyata bukan hanya monopoli masyarakat kota. Di sejumlah desa, misalnya di wilayah Bogor, Jawa Barat, muncul fenomena serupa.

Dalam tradisi setempat, pernikahan kerap dirayakan secara besar-besaran, lengkap dengan panggung dangdut dan petasan sebagai penanda kemeriahan saat menyambut keluarga besan.

Biaya hiburan tersebut tidaklah murah. Untuk sesi petasan 15 menit saja, uang yang dibakar bisa mencapai Rp1 juta. Sedangkan sewa panggung dangdut bisa menembus belasan juta rupiah.

Ironisnya, bukan hanya kalangan berada yang menggelar pesta seperti ini. Warga penerima bantuan sosial pun kerap memaksakan diri menikahkan anaknya dengan standar pesta serupa—meski harus berutang ke sana kemari.

Akibatnya, desa tersebut dijuluki secara informal sebagai “kampung utang”. Tingkat perceraian di wilayah itu juga tergolong tinggi. Bahkan muncul candaan pedas: “Utangnya belum lunas, pengantinnya sudah bercerai.”

Lebih miris lagi, pesta pernikahan di sana seringkali menyerupai perjudian. Tuan rumah rela menalangi semua biaya pesta dengan harapan sumbangan dari tamu undangan dalam bentuk amplop bisa menutup utang.

Tradisi amplop ini pun berputar bak sistem utang-piutang. Jumlah sumbangan yang diterima akan “dibayar balik” saat si pemberi menggelar acara serupa di masa depan.

KEYWORD :

berutang hidup mewah kebutuhan hidup antropolog




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :