
Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon dalam penutupan Grebeg Suro (Foto: Ist)
Jakarta, Jurnas.com - Tahun Baru Islam atau 1 Muharram tidak hanya dirayakan dengan pawai obor. Di berbagai daerah di Indonesia, semangat menyambut tahun baru Hijriyah juga diwujudkan lewat beragam tradisi yang sarat makna religius dan budaya lokal.
Tradisi-tradisi ini menjadi bukti bagaimana Islam berkembang seiring kearifan lokal. Meski berbeda bentuk, semuanya berpijak pada nilai keagamaan, rasa syukur, dan harapan untuk kehidupan yang lebih baik di tahun yang baru. Berikut adalah ulasannya yang dihimpun dari berbagai sumber.
Di Pariaman, Sumatera Barat, masyarakat memperingati 1 Muharram dengan upacara Tabuik. Tradisi ini mengenang gugurnya Imam Husain di Karbala melalui arak-arakan replika buraq raksasa yang dibuat dari bambu dan dihias meriah, lalu dilarung ke laut sebagai simbol melepas duka.
Hampir serupa, di Bengkulu dikenal tradisi Tabot yang juga mengingat peristiwa Karbala. Perayaan ini sudah berlangsung sejak abad ke-17 dan dianggap penting untuk menjaga keharmonisan daerah, bahkan dipercaya sebagai tolak bala jika tetap dilestarikan.
Dari ranah budaya, masyarakat Bangka Belitung punya cara berbeda melalui tradisi Nganggung. Kegiatan makan bersama ini menjadi ajang silaturahmi antarwarga yang diwarnai dengan suasana kekeluargaan, mirip dengan tradisi Idul Fitri.
Sementara itu, suasana mistis terasa di Keraton Surakarta lewat Kirab Kebo Bule. Kerbau putih yang dianggap sakral diarak keliling kota sebagai bagian dari tradisi malam 1 Suro, yang dalam penanggalan Jawa bertepatan dengan 1 Muharram.
Tak jauh berbeda, di Yogyakarta terdapat prosesi spiritual Mubeng Beteng Tapa Bisu yang dilakukan dengan berjalan kaki mengelilingi benteng keraton tanpa sepatah kata pun. Ritual hening ini menjadi bentuk introspeksi diri dan simbol penyucian batin di awal tahun baru.
Masih dari wilayah keraton, masyarakat Yogyakarta dan Surakarta juga melestarikan tradisi Grebeg Suro. Dalam prosesi ini, keraton mengarak gunungan hasil bumi yang kemudian diperebutkan warga sebagai simbol berkah dan rasa syukur kepada Tuhan.
Grebeg Suro menjadi simbol harmoni antara spiritualitas Islam dan budaya Jawa yang menyatu dalam ritual yang khidmat. Tak hanya meriah secara visual, prosesi ini sarat pesan moral tentang keselarasan antara kekuasaan, rakyat, dan nilai religius.
Di Magetan, Jawa Timur, masyarakat menggelar Ledug Suro dengan kirab Bolu Rahayu yang diyakini membawa keberkahan. Acara ini juga dimeriahkan dengan pertunjukan seni tradisional dan doa bersama sebagai harapan untuk kehidupan yang lebih baik.
Berbeda lagi dengan masyarakat Pati, Jawa Tengah, yang merayakan 1 Muharram lewat tradisi Barikan. Warga membawa makanan dari rumah masing-masing, lalu duduk bersama untuk berdoa dan makan bersama sebagai wujud kebersamaan dan doa awal tahun.
Sementara di Sukabumi, Jawa Barat, semarak datang dari lomba Ngadulag, yaitu pertunjukan menabuh bedug secara kreatif. Kegiatan ini bukan hanya hiburan rakyat, tetapi juga menjadi sarana dakwah dan bentuk kegembiraan atas datangnya tahun baru Islam.
Ragam tradisi tersebut menunjukkan bahwa Tahun Baru Islam di Indonesia tidak hanya diisi dengan ritual ibadah formal. Kehadirannya justru memperkaya identitas budaya Islam yang membumi dan mampu merangkul nilai lokal dengan semangat universal.
Dengan berbagai bentuknya, tradisi-tradisi ini memperkuat makna hijrah sebagai perjalanan menuju kebaikan. Tahun Baru Islam di Nusantara pun tidak hanya dikenang lewat kalender, tetapi juga lewat budaya yang hidup dan diwariskan lintas generasi. (*)
KEYWORD :Tahun Baru Islam Bulan Muharram Tradisi Nusantara Grebeg Suro