
Ilustrasi - Sunni dan Syiah, Lebih Banyak Persamaan daripada Perbedaan (Foto: Bincang Syariah)
Jakarta, Jurnas.com - Dalam setiap percakapan tentang mazhab Islam, nama Sunni dan Syiah sering muncul dalam konteks konflik, bukan kesamaan. Padahal jika ditelaah lebih dalam, kedua mazhab terbesar dalam Islam ini justru memiliki lebih banyak titik temu daripada yang biasa dibayangkan.
Baik Sunni maupun Syiah sama-sama memegang teguh dua fondasi utama Islam: Al-Qur’an dan Nabi Muhammad sebagai rasul terakhir. Keduanya juga menjalankan rukun Islam dan rukun iman dengan struktur dasar yang serupa, meskipun ada perbedaan tafsir dan penekanan.
Mereka sama-sama percaya pada salat lima waktu, puasa Ramadan, zakat, dan haji sebagai kewajiban utama. Perbedaan dalam praktik ibadah, seperti posisi tangan saat salat atau bentuk azan, lebih merupakan ekspresi budaya dan tafsir fikih, bukan hal mendasar dalam aqidah.
Dalam hal akidah, Sunni dan Syiah sama-sama meyakini keesaan Allah, wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, serta adanya hari akhir. Keduanya juga memiliki tradisi keilmuan yang kuat, dengan ribuan karya tafsir, hadis, dan hukum Islam yang berkembang sejak abad ke-8.
Jika dilihat dari sejarah, perbedaan Sunni dan Syiah tidak bermula dari pertentangan ajaran, melainkan dari persoalan politik pasca wafatnya Nabi Muhammad. Persoalan siapa yang berhak memimpin umat menjadi titik belok, bukan soal siapa yang menyembah Tuhan yang benar.
Konflik Iran–Israel dan Riak Mazhab di Indonesia
Meskipun narasi konflik Sunni-Syiah terus diproduksi, terutama oleh kepentingan politik modern dan media yang menyederhanakan realitas, kenyataannya di banyak tempat keduanya hidup berdampingan. Bahkan di kota-kota seperti Baghdad, Beirut, atau Qom, banyak keluarga campuran yang terbiasa hidup lintas mazhab.
Di Indonesia sendiri, sejarah menunjukkan bahwa tradisi Syiah telah hadir sejak awal masuknya Islam. Sebagaimana ditulis dalam berbagai sumber, unsur-unsur Syiah pernah mewarnai dakwah di wilayah seperti Aceh, Barus, dan Gresik tanpa menimbulkan konflik dengan komunitas Sunni setempat.
7 Tips Bonding dengan Anak Usia di Bawah 5 Tahun
Namun sejak abad ke-17, terutama setelah masuknya pengaruh Turki Utsmani dan gerakan pemurnian dari Timur Tengah, perbedaan mazhab mulai dianggap sebagai ancaman. Sejak itulah narasi “yang otentik” dan “yang menyimpang” kerap digunakan untuk menekan ekspresi keislaman yang berbeda.
Kini, ketika konflik Timur Tengah seperti perang Iran–Israel kembali membara, narasi perbedaan Sunni–Syiah kembali digunakan sebagai alat polarisasi, termasuk di Indonesia. Padahal narasi itu sering kali tidak berdasar pada ilmu, tapi pada ketakutan yang dibentuk secara sosial dan politis.
Padahal di tengah masyarakat Muslim yang majemuk seperti Indonesia, memahami persamaan Sunni dan Syiah justru menjadi kunci untuk menjaga persatuan. Kita tidak harus sepakat dalam semua hal, tetapi bisa saling menghormati dalam banyak hal yang sebenarnya kita bagi bersama.
Persamaan ini menjadi dasar penting bagi moderasi beragama, yang kini semakin relevan ketika media sosial dan ceramah populis sering memperuncing perbedaan. Tanpa kemampuan melihat titik temu, umat Islam akan terus terjebak dalam konflik internal yang menguntungkan pihak luar.
Sementara musuh bersama umat hari ini bukanlah mazhab lain, tapi ketidakadilan, kemiskinan, kekerasan, dan penjajahan. Dalam situasi seperti ini, memperkuat solidaritas Islam lintas mazhab bukan hanya idealisme, tapi kebutuhan zaman.
Sudah saatnya umat Islam menggeser fokus dari siapa yang paling benar menuju siapa yang paling membawa manfaat bagi sesama. Sunni dan Syiah, dengan segala perbedaan dan warisan intelektualnya, justru bisa saling melengkapi dalam membangun peradaban. (*)
Wallohu`alam
KEYWORD :Israel Iran Sunni Syiah Indonesia Islam Moderasi Beragama Titik Temu