
Petani sedang melakukan panen cabai (Foto: Kementan)
Jakarta, Jurnas.com - Perubahan iklim kini tidak lagi sekadar ancaman masa depan. Ia sudah hadir, dan taruhannya adalah pangan dunia. Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa perubahan iklim dapat memangkas pasokan pangan dunia secara signifikan, bahkan jika petani di seluruh dunia melakukan adaptasi. Setiap kenaikan suhu 1°C diperkirakan akan mengurangi rata-rata asupan kalori harian manusia hingga 120 kalori—setara satu kali sarapan.
Penelitian yang dipublikasikan di jurnal Nature menyampaikan peringatan tegas: pemanasan global berpotensi merusak sistem pangan dunia secara permanen. Bahkan dengan skenario adaptasi terbaik dari para petani, produksi pangan global tetap akan menurun seiring meningkatnya suhu bumi.
“Jika suhu naik tiga derajat, dampaknya seperti seluruh penduduk bumi berhenti sarapan,” kata Solomon Hsiang, profesor di Stanford Doerr School of Sustainability dan salah satu penulis studi.
Studi ini memperkirakan bahwa setiap kenaikan 1°C dapat memangkas ketersediaan makanan hingga 120 kalori per orang per hari, atau sekitar 4,4% dari konsumsi harian.
Corn Belt Terancam Hilang
Wilayah yang dikenal sebagai Corn Belt di Amerika Serikat diprediksi akan menjadi salah satu yang paling terpukul. Andrew Hultgren, asisten profesor di University of Illinois dan penulis utama studi, mengatakan bahwa kawasan ini mungkin tidak akan lagi menjadi pusat produksi jagung dan kedelai seperti sekarang.
“Ladang-ladang yang dulu sangat ideal untuk pertanian modern justru akan terpukul keras dalam skenario pemanasan tinggi,” ujarnya.
Tak hanya produksi menurun, pergeseran ini juga akan memindahkan keuntungan agrikultur ke negara-negara seperti Kanada, Rusia, dan Tiongkok—yang justru akan diuntungkan dari perubahan iklim. “Ini seperti mengirimkan keuntungan pertanian kita ke luar negeri,” tambah Hsiang.
Adaptasi Petani: Perlu, Tapi Tidak Cukup
Keunggulan riset ini terletak pada pendekatannya yang realistis terhadap adaptasi. Tim peneliti menganalisis data dari 12.000 wilayah di 55 negara, dengan fokus pada enam komoditas utama: gandum, jagung, padi, kedelai, barley, dan singkong.
Meskipun petani telah melakukan penyesuaian—mulai dari mengubah tanggal tanam hingga jenis benih—adaptasi ini hanya bisa meredam sebagian dampak. “Bahkan dengan adaptasi, pemanasan tetap akan menyebabkan penurunan produksi global,” jelas Hultgren.
Yang paling rentan adalah komunitas miskin dan negara-negara produsen pangan utama. Di akhir abad ini, wilayah terkaya bisa kehilangan hingga 41% hasil panennya, sementara wilayah termiskin sekitar 28%.
Padi Mungkin Naik, Tapi Mayoritas Komoditas Lain Terancam
Temuan menarik lainnya: tidak semua tanaman terpengaruh dengan cara yang sama. Padi, misalnya, diprediksi bisa mengalami peningkatan hasil karena lebih tahan terhadap malam yang hangat. Namun, untuk tanaman pokok lain seperti gandum dan jagung, kemungkinan penurunan hasil antara 70% hingga 90% pada tahun 2100.
Model iklim menunjukkan bahwa walaupun emisi berhasil ditekan hingga nol bersih, hasil panen global tetap bisa turun 11%. Jika emisi terus meningkat, penurunan bisa mencapai 24%—angka yang mengancam ketahanan pangan global.
Masa Depan Pertanian Butuh Dukungan Nyata
Dengan suhu global telah meningkat sekitar 1,5°C dibandingkan era pra-industri, dampaknya sudah terasa. Petani melaporkan cuaca yang makin tidak menentu, musim tanam yang tak terduga, dan gelombang panas ekstrem, bahkan di negara-negara dengan teknologi agrikultur canggih.
“Kita tidak bisa menganggap kerugian jangka panjang ini sepele. Mengabaikannya berarti menyematkan nilai ekonomi nol pada masa depan, dan itu jelas keliru,” ujar Hultgren.
Kini, tim peneliti bekerja sama dengan UNDP (Program Pembangunan PBB) untuk membantu pemerintah merumuskan strategi ketahanan pangan. Prioritasnya adalah memastikan bahwa masyarakat paling rentan mendapat dukungan lebih dulu.
“Kalau kita tak bisa sepenuhnya mengatasi emisi, setidaknya kita bisa mengurangi dampaknya,” ujar Hsiang.
Namun, jalan adaptasi tidak mudah. Banyak petani di negara berkembang masih kekurangan akses ke pupuk berkualitas, informasi cuaca akurat, dan teknologi dasar. Peneliti kini mengembangkan alat untuk mengarahkan investasi dan bantuan teknis secara lebih tepat sasaran.
“Petani tahu cara merawat tanah, membangun infrastruktur, atau memperbaiki lumbung. Tapi kalau iklim dibiarkan rusak, semua itu sia-sia. Lahan yang diwariskan ke generasi berikutnya mungkin masih bisa ditanami—tapi bukan lagi untuk pangan,” tutup Hsiang. (*)
Studi lengkap ini dipublikasikan di jurnal ilmiah Nature. Sumber: earth.com
KEYWORD :Krisis Iklim Krisis Pangan Pertanian Global Pemanasan Global Ketahanan Pangan