
Bek legenda Manchester United, Nemanja Vidic (Foto: Kompas)
Jakarta, Jurnas.com - Nama Nemanja Vidic mungkin tak lagi sering terdengar di dunia sepak bola modern yang mengagungkan bek "stylish", piawai dalam membangun serangan dan penuh trik.
Namun, bagi para penikmat sepak bola sejati, Vidic tetaplah simbol kekuatan, ketangguhan, dan dedikasi tanpa kompromi di lini belakang Manchester United.
Lahir di sebuah kota kecil di Serbia saat negara itu masih dilanda konflik Yugoslavia, Vidic tumbuh dalam suasana yang keras. Suara bom dan sirine lebih akrab di telinganya ketimbang siaran sepak bola.
Lingkungan itu membentuknya menjadi pribadi yang gigih, dengan satu prinsip hidup: "Kalau kamu enggak keras kepala, kamu bakal patah."
Perjalanan kariernya dimulai dari Red Star Belgrade, dilanjutkan ke Spartak Moskow, hingga akhirnya Sir Alex Ferguson memboyongnya ke Old Trafford pada 2006.
Namun, kepindahannya nyaris batal karena sang istri dan anak sakit. Bahkan, pihak klub pun sempat ragu. Tapi Vidic tetap datang dan sejarah pun ditulis.
Bersama Rio Ferdinand, ia membentuk duet bek tengah paling ikonik dalam sejarah Liga Inggris. Jika Rio adalah otak dan ketenangan, maka Vidic adalah otot dan keberanian. Yin dan Yang yang membuat tembok kokoh bagi The Red Devils di era kejayaan Ferguson.
Namun, kisah Vidic bukan tanpa noda. Ia sering dibuat kesulitan oleh Fernando Torres, striker yang disebut banyak fans sebagai "mimpi buruk Vidic".
Ia juga sempat bersitegang secara emosional dengan mantan rekan setimnya, Carlos Tevez, usai sang striker bergabung ke rival sekota, Manchester City. Tevez menyerang lewat media, Vidic membalas di lapangan.
Tanpa kata, hanya dengan marking sempurna yang membuat Tevez "menghilang dari radar".
Tapi satu momen paling memilukan dalam karier Vidic datang pada malam final Liga Champions 2011, saat Manchester United dihancurkan Barcelona. Usai pertandingan, Vidic duduk sendirian di ruang ganti, merasa bahwa tubuhnya tak lagi mampu bersaing di level tertinggi.
Kemudian dedera mulai menghantuinya, performanya menurun, kritik pun datang silih berganti. Banyak yang tak tahu, ia sering bermain sambil menahan rasa sakit selama berbulan-bulan.
Saat kontraknya habis, tidak ada pesta perpisahan. Tidak pula standing ovation. Vidic pergi diam-diam dari “Theatre of Dreams”, stadion yang pernah ia bela dengan seluruh jiwanya. Kalimat terakhirnya hanya, "Saya sudah berikan yang saya bisa."
Vidic bukanlah bek viral. Ia tidak pernah jadi bintang di highlight media sosial. Tapi ia punya sesuatu yang tak dimiliki semua pemain, yakni keberanian tanpa filter, dan tekad untuk selalu menjadi yang paling keras di saat semua orang memilih jalan aman.
Kini, saat sepak bola semakin mengejar estetika, nama Vidic menjadi pengingat bahwa menjadi legenda tak selalu tentang trofi dan trik tapi tentang berani berdarah, tak takut dibentur, dan diam saat dilupakan.
Karena tembok sejati tak pernah minta dikenang, mereka hanya berdiri tegak, sampai tak mampu lagi.
KEYWORD :Manchester United Legenda Nemanja Vidic Bek Tangguh