
Anggota Komisi IV DPR RI Johan Rosihan. (Foto: Dok. Ist)
Jakarta, Jurnas.com - Anggota Komisi IV DPR RI Johan Rosihan menegaskan pentingnya Revisi Undang-Undang (RUU) Pangan. Perombakan payung hukum itu demi memperkuat kedaulatan pangan nasional dan menanggulangi ketergantungan impor yang dinilai semakin akut.
Hal itu sebagaimana disampaikan Johan dalam forum legislasi yang digagas Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bekerja sama dengan Biro Pemberitaan DPR RI bertajuk `DPR RI Segera Bahas RUU Pangan untuk Mendukung Program Pemerintah`.
Johan mengkritik keras lemahnya arah kebijakan pangan nasional dan dominasi pasar impor yang menggerus produksi dalam negeri.
"Kalau Bung Karno bilang, pangan itu hidup matinya sebuah bangsa. Tapi undang-undang kita belum mampu menjamin ketahanan, apalagi kedaulatan pangan," kata Johan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (20/5).
Politikus PKS itu menyebut Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 gagal menekan dominasi produk impor. Termasuk, tak memberikan sanksi tegas bagi praktik impor berlebih yang merugikan petani lokal.
Dia menyebut bahwa revisi undang-undang ini harus berangkat dari prinsip konstitusional, yakni perlindungan rakyat dan penguasaan negara atas sumber daya pangan.
"Negara tidak boleh menyerahkan urusan pangan kepada mekanisme pasar semata. Negara harus hadir, memimpin, dan menjamin bahwa rakyat terlindungi dalam urusan pangan," tegas Johan.
Dalam forum yang juga dihadiri oleh insan media dan pemangku kepentingan sektor pertanian itu, Johan menguraikan tiga kelemahan utama dalam UU Pangan 2012. Antara lain, lemahnya orientasi pada produksi nasional, tiadanya sanksi untuk impor yang berlebihan, dan tidak adanya penguatan terhadap pasal 33 UUD 1945 tentang penguasaan negara atas sumber daya alam. Dia juga menyoroti lemahnya kebijakan cadangan pangan.
"Bulog hanya diberi kuota menyerap 3 juta ton dari total produksi 19 juta ton. Lalu, nasib 16 juta ton produksi petani ke mana?" ujarnya.
Johan juga mempertanyakan klaim pemerintah soal penghentian impor beras. "Kalau benar kita bisa mempengaruhi harga beras dunia, mengapa harga dalam negeri masih tinggi?" katanya.
Menuju Swasembada Nyata, Bukan Retorika
Johan mengatakan RUU Pangan harus menegaskan batasan kuantitatif dan prosedur ketat dalam kebijakan impor. Dia menyerukan perumusan strategi swasembada pangan yang bukan hanya wacana politik, tapi langkah berdaulat dalam menghadapi krisis global, konflik geopolitik, dan perubahan iklim.
Dia juga menyarankan adanya reformasi kelembagaan, termasuk pembentukan Kementerian Pangan sebagai institusi teknis yang menggabungkan fungsi Bulog dan Bappenas dalam urusan pangan.
"Tapi Bulog harus tetap ada dan diperkuat sebagai instrumen pemerintah," ujarnya.
Johan menutup dengan usulan desain besar (grand design) empat pilar strategis ketahanan pangan, yakni produksi yang berdaulat dan berkelanjutan, distribusi yang adil dan terkendali, konsumsi yang bergizi dan berbasis lokal, serta cadangan yang tangguh dan mandiri.
Dia juga mendorong agar penetapan lahan pertanian berkelanjutan menjadi prioritas nasional dan terintegrasi dalam tata ruang wilayah.
"Pangan adalah urusan hidup mati bangsa. Negara harus berada di depan. Ini bukan sekadar kebijakan, tapi mandat konstitusi," tegas Johan.
KEYWORD :
Warta DPR Komisi IV Johan Rosihan RUU Pangan petani impor