Senin, 19/05/2025 19:41 WIB

Polemik Ijazah Jokowi Berpotensi Merusak Fondasi Demokrasi

Kontroversi terkait ijazah palsu Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) yang dipantik Roy Suryo dan kawan-kawannya dinilai bukan sekadar kegaduhan biasa.

Presiden ke 7, Joko Widodo (Jokowi). (Foto Ist)

Jakarta, Jurnas.com - Kontroversi terkait ijazah palsu Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) yang dipantik Roy Suryo dan kawan-kawannya dinilai bukan sekadar kegaduhan biasa. Polemik itu bahkan disebut mencerminkan manuver politik yang terstruktur dan berpotensi merusak fondasi demokrasi.

Tuduhan semacam ini sejatinya telah berkali-kali terbantahkan oleh lembaga resmi negara. Namun, narasi itu terus dihidupkan dan terus didorong oleh agenda politik yang lebih bersifat personal daripada publik.

Pengamat hukum dan politik, Dr. Pieter C Zulkifli, SH., MH., menyebut tindakan tersebut sebagai bentuk manipulasi demokrasi yang mengarah pada deligitimasi institusi negara.

"Jika negara terus abai, maka kita menyaksikan pembiaran terhadap degradasi hukum dan politik secara perlahan namun pasti," kata Pieter Zulkifli dalam keterangannya, Jakarta, Senin, 19 Mei 2025.

Dalam analisis politiknya, mantan Ketua Komisi III DPR ini menegaskan bahwa demokrasi tidak boleh dikorbankan demi panggung para pemburu sensasi. Menurutnya, kegaduhan yang kembali dimunculkan oleh sebagian kalangan terkait isu dugaan ijazah palsu Jokowi tidak dapat lagi dilihat sebagai bagian dari kritik yang sehat.

Dia menilai isu itu adalah pola lama politik tanpa etika yang menanggalkan nalar sehat dan berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara.

Padahal, kata dia, seluruh lembaga resmi negara mulai dari Universitas Gadjah Mada dan diperkuat oleh putusan pengadilan bahkan dibahas di Mahkamah Konstitusi (MK) telah menegaskan bahwa tuduhan tersebut tidak berdasar.

Namun, narasi itu tetap dihidupkan, dibungkus dengan klaim keilmuan dan semangat `pencarian kebenaran`. Jika dicermati lebih jernih, motif utamanya bukanlah kontrol sosial, melainkan komodifikasi isu untuk kepentingan pribadi dan politik.

"Dalam konteks ini, kita diingatkan oleh Nelson Mandela, penjahat itu tidak pernah membangun negara. Mereka hanya memperkaya diri sendiri sambil merusak negara," kata Pieter Zulkifli.

Dia menyebut puncak dari kegaduhan ini terjadi pada 30 April 2025, ketika Jokowi melalui tim kuasa hukumnya melaporkan Roy Suryo, Tifauzia Tyassuma, Rismon Sianipar, Eggi Sudjana, dan Kurnia Tri Royani ke Polda Metro Jaya atas dugaan pencemaran nama baik dan penyebaran fitnah.

Laporan ini menandai pentingnya membedakan antara kritik dan kebohongan publik yang berujung disinformasi. Masalah utama saat ini bukan soal kebebasan berpendapat, tetapi penyalahgunaan kebebasan itu untuk menyebarkan disinformasi.

Ketika ruang publik dijejali narasi sesat yang dibalut jargon keilmuan, maka yang tergerus bukan hanya nama baik seseorang tetapi juga legitimasi institusi negara. Pieter Zulkifli lantas mengutip tulisan filsuf Romawi, Seneca, yang menyatakan tidak ada yang lebih tragis daripada kebodohan yang disertai keyakinan tinggi.

"Ini sebuah peringatan akan bahaya keyakinan yang tidak berbasis fakta. Yang juga memprihatinkan adalah sikap negara yang terkesan gamang. Dalih menjaga demokrasi dan kebebasan berpendapat kerap menjadi pembenaran untuk membiarkan narasi fitnah terus bergulir," ucap dia.

Pieter Zulkifli menekankan jika demokrasi tidak berarti bebas tanpa batas. Setiap kebebasan mengandung tanggung jawab dan negara memiliki mandat konstitusional untuk menjamin bahwa ruang publik tidak menjadi sarang hoaks.

"Jika tuduhan tak berdasar terus-menerus dipelihara, maka bukan hanya seorang Presiden yang diserang, tetapi keutuhan demokrasi itu sendiri yang terancam," katanya.

Pieter Zulkifli menuturkan kepercayaan publik adalah pilar dalam sistem demokrasi. Tanpa kepercayaan, negara akan mengalami retakan dalam jangka panjang, bukan oleh senjata tetapi oleh narasi kebohongan yang dipelihara secara sistematis.

Atas hal tersebut, Pieter Zulkifli mendorong Presiden Prabowo mengambil sikap tegas terhadap kasus ini. Dia mengingatkan jika diamnya bukan pilihan bijak.

"Sebagai pemimpin masa depan, ia memiliki tanggung jawab moral dan politik untuk menjaga wibawa institusi negara dan memastikan demokrasi tidak dikotori oleh permainan politik yang dangkal. Ketegasan ini akan menjadi isyarat awal bahwa kepemimpinannya berpijak pada prinsip, bukan kompromi," kata Pieter Zulkifli.

Tak hanya itu, Pieter Zulkifli mendesak aparat penegak hukum tidak boleh terus terombang-ambing oleh opini media sosial atau tekanan politik. Hukum harus ditegakkan secara adil dan konsisten.

"Dengan begitu, negara menunjukkan keberpihakannya pada kebenaran, bukan pada kebisingan yang dibangun atas dasar kepentingan sesaat," tegasnya.

Pieter menuturkan tantangan terbesar demokrasi Indonesia hari ini bukanlah kekerasan fisik, tetapi infiltrasi kebohongan ke dalam kesadaran publik. Negara tidak boleh menjadi penonton.

Negara harus hadir menjaga muruah demokrasi, menegakkan hukum, dan melindungi ruang publik dari disinformasi yang memecah belah. Jika negara terus diam, maka yang tumbuh bukan demokrasi, melainkan ketidakpercayaan.

"Dan ketika kepercayaan itu runtuh, yang menyusul adalah instabilitas sosial dan politik yang jauh lebih sulit dipulihkan," kata Pieter Zulkifli.

KEYWORD :

Polemik Ijazah Jokowi Pieter Zulkifli Merusak Fondasi Demokrasi Universitas Gajah Mada




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :