Selasa, 24/06/2025 05:09 WIB

TNI Jaga Kejaksaan, Melawan Koruptor atau Perang Antar Lembaga

Kebijakan menempatkan TNI pada kantor Kejaksaan dinilai bukan hanya soal keamanan semata. Penempatan Militer Indonesia di kantor-kantor Kejaksaan bahkan disebut sebagai alarm keras bahwa negara sedang darurat korupsi.

Eks Ketua Komisi III DPR, Pieter Zulkifli Simabuea

Jakarta, Jurnas.com - Kebijakan menempatkan TNI pada kantor Kejaksaan dinilai bukan hanya soal keamanan semata. Penempatan Militer Indonesia di kantor-kantor Kejaksaan bahkan disebut sebagai alarm keras bahwa negara sedang darurat korupsi.

Demikian disampaikan Pengamat hukum dan politik, Dr Pieter Zulkifli,SH., MH, merespons munculnya kebijakan menempatkan TNI di Kantor Kejaksaan.

"Dan di tengah darurat ini, rakyat menanti: apakah pemimpin barunya akan membela hukum, atau membungkamnya?" kata Pieter Zulkifli dalam keterangannya, Jakarta, Minggu (18/5).

Pieter Zulkifli bahkan sepakat dengan pernyataan mantan Menko Polhukam Mahfud MD yang menyebut situasi itu sebagai tidak normal. Mahfud MD mengungkap bahwa ketegangan antara Kejaksaan dan Polri bukan hal baru, bahkan sudah terasa sejak masa pemerintahannya.

Mahfud menyuarakan kekhawatiran mendalam di mana penegak hukum saling tidak percaya, perkara besar macet di kepolisian, kejaksaan terkesan bekerja sendiri. Di tengah itu, masuklah TNI sebagai pelindung.

"Apakah ini bentuk sinyal bahwa pemberantasan korupsi di masa depan akan semakin keras dan frontal? Bisa jadi. Namun risiko terbesarnya adalah pelibatan militer dalam fungsi-fungsi sipil yang semakin membesar dan melampaui batas," kata dia.

"Apa pun alasannya, pengerahan TNI ke kantor-kantor Kejaksaan sejatinya adalah refleksi dari lemahnya sistem penegakan hukum, bukan kekuatannya," timpalnya.

Pieter Zulkifli mengingatkan jika Presiden Prabowo Subianto memang merestui langkah tersebut, maka sudah seharusnya berbicara ke publik. Prabowo harus menjelaskan bahwa keputusan itu adalah langkah transisi menuju Indonesia yang lebih bersih.

Pieter Zulkifli mengamini kebijakan menempatkan TNI pada setiap kantor Kejaksaan telah mengejutkan banyak pihak. Apalagi, penempatan Militer Indonesia itu dilakukan saat negara dianggap sedang tidak baik-baik saja lantaran korupsi `menyusup` hingga ke ruang-ruang kekuasaan yang seharusnya steril.

Ditambah lagi publik terus disuguhkan dengan pengungkapkan kasus dugaan korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum. Dia bahkan menduga-duga penempatan TNI itu sebagai sinyal darurat atau ada misi tersembunyi dari pihak tertentu tanpa restu dari Presiden Prabowo.

"Ketika sipil dan militer mulai kabur batasnya, dan hukum dipertontonkan seperti panggung teater, rakyat punya hak bertanya: ini perang melawan koruptor, atau perang antarlembaga?" kata Pieter Zulkifli.

Dia mengatakan bila korupsi di Indonesia sudah menjadi penyakit kronis yang menggerogoti fondasi perekonomian dan menghambat laju pembangunan. Kasus-kasus besar seperti korupsi tata niaga timah, korupsi di Pertamina, Antam, BLBI, hingga Asabri hanyalah puncak gunung es dari praktik koruptif yang kian sistemik.

Menurut dia, akar masalah terletak pada lemahnya pengawasan, rendahnya transparansi, serta moral penegak hukum yang tergerus, ditambah dominasi mafia peradilan yang membuat hukum seringkali berpihak pada yang kuat.

"Tanpa reformasi mendasar, korupsi akan terus menjadi lingkaran setan yang sulit diputus," kata Pieter.

Mantan Ketua Komisi III DPR RI itu mengatakan untuk memutus mata rantai korupsi, diperlukan komitmen kuat dari seluruh elemen bangsa. Penguatan sistem pengawasan, percepatan RUU Perampasan Aset, serta penghukuman tegas bagi koruptor adalah langkah krusial.

Namun, kata dia, yang tak kalah penting adalah meningkatkan integritas politisi dan menciptakan budaya akuntabilitas di semua lini pemerintahan. Tanpa itu, upaya pemberantasan korupsi hanya akan menjadi retorika belaka, sementara rakyat terus menanggung dampaknya.

Pieter Zulkifli menuturkan hampir satu abad Indonesia merdeka, penegakan hukum di republik ini masih jauh panggang dari api. Situasi yang menyelimuti tubuh penegakan hukum di Indonesia kian menunjukkan tanda-tanda darurat. Salah satunya saat TNI dikerahkan untuk mengamankan Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri di seluruh Indonesia.

"Pertanyaan besar langsung muncul: mengapa bukan Kepolisian yang menjalankan fungsi ini? Lebih jauh lagi, apakah pengerahan ini telah melalui restu Presiden terpilih Prabowo Subianto?" katanya.

Surat Telegram Panglima TNI TR/422/2025 dan tindak lanjut Kasad melalui ST/1192/2025 yang memerintahkan pengerahan personel tempur dan bantuan tempur ke kantor-kantor kejaksaan telah memicu polemik. Bukan soal teknis semata, melainkan soal prinsip.

"Dalam sistem hukum demokratis, batas antara fungsi militer dan sipil harus dijaga ketat. Maka tak heran jika banyak yang mempertanyakan, ada apa gerangan di Kejaksaan, hingga lembaga itu merasa perlu berlindung di balik seragam loreng?" kata Pieter Zulkifli.

Dalam klarifikasinya, Kapuspen TNI menekankan bahwa pengerahan pasukan adalah tindak lanjut dari permintaan resmi dan berdasarkan nota kesepahaman (MoU) antara TNI dan Kejaksaan Agung yang diteken sejak 2023. Namun, penjelasan prosedural itu tidak serta-merta menghapus kejanggalan substansial.

"Kecurigaan mencuat bahwa Kejaksaan sedang mengusut perkara korupsi besar yang beririsan dengan institusi Polri," ucapnya.

Di sisi lain, Pieter Zulkifli menyinggung tanggapan Direktur Pusat Riset Politik, Hukum, dan Kebijakan Indonesia (PRPHKI), Saiful Anam, yang menyebut Kejaksaan mungkin tidak merasa aman jika pengamanan dilakukan oleh Kepolisian, karena ada potensi intervensi. Dalam konteks ini, TNI dipandang lebih `netral`.

"Apakah ini berarti institusi hukum kita sudah tidak saling percaya? Lebih parah lagi, apakah masyarakat harus menerima bahwa lembaga penegak hukum memilih `pasukan penjaga` berdasarkan kecenderungan politik atau insting bertahan dari sabotase internal?" kata dia.

Yang tak kalah menarik, kata dia, diamnya Presiden Prabowo Subianto dalam dinamika tersebut. Sebagai mantan prajurit dan pemimpin tertinggi negara, sulit membayangkan bahwa pengerahan TNI dalam skala nasional semacam ini luput dari sepengetahuannya.

"Apakah ini isyarat diam-diam dari Prabowo bahwa ia memberi lampu hijau bagi TNI untuk berperan lebih aktif dalam urusan sipil, khususnya dalam konteks pemberantasan korupsi?" kata Pieter Zulkifli.

Dia menilai jika hal itu benar demikian maka Indonesia sedang bergerak ke babak baru, yakni babak di mana institusi yang selama ini berdiri sebagai penyangga keamanan negara mulai dilibatkan dalam ranah-ranah yang semestinya menjadi tanggung jawab sipil dan lembaga penegak hukum.

"Jika tidak, maka opini akan liar bahwa Indonesia sedang bergerak ke arah semi-militerisme dalam penegakan hukum, dan itu bukan pertanda baik bagi demokrasi kita," kata dia.

Kendati begitu, Pieter Zulkifli mengamini TNI memiliki kewenangan memberikan dukungan atau bantuan pengamanan terhadap aset maupun objek vital negara. Sementara Kejaksaan merupakan bagian objek vital dari negara yang sangat strategis.

"Apakah TNI memiliki kewenangan dalam dalam konteks pengamanan selalin pertahanan. Kalau kita membaca UU TNI oasal 7 ayat 2. Secara tegas menyatakan bahwa TNI dapat memberikan dukungan dan bantuan pengaman terhadap aset-aset atau obyek vital strategis. Kejaksaan merupakan obyek vital dari Negara yang samgat startegis," tegasnya.

KEYWORD :

Pieter Zulkifli TNI Jaga Kejaksaan Melawan Koruptor Perang Antar Lembaga Kejaksaan Agung




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :