Minggu, 04/05/2025 11:02 WIB

Hari Kekebasan Pers Sedunia 2025, Ini Sejarah hingga Tema Peringatannya

Setiap tanggal 3 Mei, dunia memperingati World Press Freedom Day atau Hari Kebebasan Pers Sedunia. Tahun ini, peringatan tersebut menandai 30 tahun perjalanan sejak dicanangkannya oleh Majelis Umum PBB pada Desember 1993, mengikuti rekomendasi UNESCO.

World Press Freedom Day atau Hari Kebebasan Pers Sedunia - Ilustrasi Hari Kekebasan Pers Sedunia 2025, Ini Sejarah hingga Tema Peringatannya (Foto: RRI)

Jakarta, Jurnas.com - Setiap tanggal 3 Mei, dunia memperingati World Press Freedom Day atau Hari Kebebasan Pers Sedunia. Tahun ini, peringatan tersebut menandai 30 tahun perjalanan sejak dicanangkannya oleh Majelis Umum PBB pada Desember 1993, mengikuti rekomendasi UNESCO.

Namun, peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia kali ini bukan sekadar seremoni—ia menjadi alarm keras atas masa depan kebebasan pers, khususnya dalam lanskap digital yang kini dikuasai oleh kecerdasan buatan (AI).

Hari Kebebasan Pers Sedunia ditetapkan oleh Majelis Umum PBB pada Desember 1993, berdasarkan rekomendasi UNESCO yang merujuk pada Deklarasi Windhoek—sebuah dokumen penting yang menegaskan hak atas media yang bebas, independen, dan pluralistik.

Tiga dekade berselang, misi tersebut tidak kehilangan relevansinya, terlebih ketika tekanan terhadap pers kini datang dari tempat yang tidak terduga: algoritma dan otomatisasi.

Mengutip laman United Nation dan Unesco, tema global Hari Kebebasan Pers Sedunia tahun ini ialah "Reporting in the Brave New World: The Impact of Artificial Intelligence on Press Freedom and the Media." Tema ini menggarisbawahi bagaimana teknologi AI mengubah praktik jurnalisme secara radikal—mulai dari pengumpulan data, penyuntingan konten, hingga distribusi informasi.

AI dinilai mampu memperluas akses informasi dan memperkuat komunikasi lintas batas. Namun, dalam waktu yang sama, AI juga menghadirkan tantangan serius: penyebaran disinformasi, meningkatnya ujaran kebencian, algoritma bias, hingga penyensoran terselubung.

Platform teknologi kini menjadi "penjaga gerbang" arus informasi, memutuskan apa yang layak terlihat publik. Lebih buruk lagi, banyak alat AI generatif menggunakan ulang konten media tanpa kompensasi yang adil, menggerus pendapatan media independen yang sudah terhimpit secara finansial.

Di Indonesia, peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia dibayangi oleh memburuknya kondisi kebebasan pers. Berdasarkan catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, hingga 3 Mei 2025, terdapat 38 kasus kekerasan terhadap jurnalis—dua kasus bahkan terjadi dalam dua hari pertama bulan Mei, saat peliputan aksi Hari Buruh.

Studi AJI pada Maret 2025 juga mengungkap 75,1 persen jurnalis Indonesia pernah mengalami kekerasan, baik secara fisik maupun digital. "Kebebasan pers di Indonesia terus memburuk dan masa depan jurnalisme independen makin mencemaskan," kata Nany Afrida, Ketua Umum AJI Indonesia.

Laporan terbaru World Press Freedom Index 2025 dari Reporters Without Borders (RSF) memperkuat kekhawatiran ini. Posisi Indonesia anjlok ke peringkat 127 dari 180 negara, turun drastis dibanding 2024 (peringkat 111) dan 2023 (peringkat 108).

Menurut AJI Indonesia, kehadiran AI dalam industri media adalah keniscayaan. Teknologi ini dapat mempercepat proses kerja jurnalistik, mulai dari transkripsi, penerjemahan, hingga editing. Namun, AI tidak bisa menggantikan jurnalis dalam proses verifikasi dan konfirmasi informasi.

Namun, ada risiko besar, di antaranya ialah algoritma yang tidak memahami konteks lokal, potensi misinformasi dari konten AI, hingga pengawasan terhadap jurnalis menggunakan teknologi canggih. Untuk itu, AJI mendorong semua media agar mematuhi pedoman Dewan Pers soal penggunaan AI dan menyusun kebijakan internal yang jelas terkait penggunaannya.

Hari Kebebasan Pers Sedunia bukan sekadar pengingat, melainkan momentum untuk merayakan prinsip dasar kebebasan pers. Kemudian, mengevaluasi kondisi media global.

Selanjutnya, melindungi media dari serangan terhadap independensinya. Serta mengenang jurnalis yang gugur saat menjalankan tugasnya.

Dengan demikian, Hari Kebebasan Pers Sedunia bukan hanya perayaan simbolik. Ia adalah momentum untuk mengevaluasi, melawan represi, dan membangun solidaritas global antar pekerja media.

Kebebasan pers tidak bisa didelegasikan pada algoritma. Ia perlu perlindungan hukum, partisipasi masyarakat, dan komitmen nyata dari pemerintah dan pemilik media. AI mungkin membantu, namun hanya jurnalis yang bisa menjaga makna, kebenaran, dan integritas dalam setiap berita yang disampaikan. (*)

KEYWORD :

Hari Kebebasan Pers Sedunia 3 Mei Tema Hari kebebasan pers




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :