Berdoa di tengah bencana yang melanda wilayah Sumatera dan Aceh. Foto: antara
JAKARTA, Jurnas.com – Bencana banjir dan longsor di wilayahb Sumatera dan Aceh bukan hanya merusak rumah, fasilitas publik, dan infrastruktur, tetapi juga memberikan dampak serius pada kesehatan fisik, emosional, dan psikologis masyarakat yang menjadi korban. Untuk itu, pemerintah dinilai harus memberikan dukungan psiko-sosial bagi para penyintas bencana tersebut dengan melibatkan para psikolog profesional.
Demikian disampaikan Psikolog dan juga Associate Professor Universitas Paramadina Muhammad Iqbal, PhD., di Jakarta, Sabtu (6/12/2025).
“Ribuan korban jiwa yang dilaporkan hilang, dan sebagian besar belum ditemukan. Kerugian ini bukan hanya mencerminkan krisis ekologis dan ekonomi, tetapi juga krisis kemanusiaan serta ancaman serius terhadap kesehatan mental masyarakat,” kata Iqbal.
Menurut Iqbal, dampak psikologis penyintas tidak kalah berat dibanding kerusakan fisiknya. Banyak warga kehilangan orang yang dicintai, harta benda, lahan, ternak, serta penghasilan yang menjadi sumber kehidupan keluarga. Semua itu membentuk tekanan mental yang sangat besar.
Ia menjelaskan, ada beberapa dampak psikologis yang terjadi setelah bencana, yakni Acute Stress Reaction, Anxiety Disorders, Prolonged Grief Disorder, dan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Penelitian menunjukkan bahwa sekitar 30–50% penyintas bencana besar dapat mengalami gejala PTSD dalam tiga bulan pertama.
UNICEF juga mencatat bahwa anak-anak dan lansia merupakan kelompok paling rentan mengalami dampak psikologis jangka panjang. Dalam observasi lapangan, masyarakat menunjukkan gejala seperti sulit tidur, mimpi buruk, ketakutan terhadap suara hujan atau gemuruh, penurunan minat aktivitas, menarik diri dari interaksi sosial, hingga gejala depresi.
“Dampak psikologis mutlak harus mendapat perhatian pemerintah untuk ditangan,” katanya.
Alasannya, lanjut Iqbal, pertama, bencana menciptakan stressor ekstrem yang melebihi kapasitas coping seseorang. “Ketika individu merasa tidak berdaya dan situasi dianggap tidak terkendali, muncul kecemasan, ketegangan, dan keputusasaan.”
Kedua, trauma bukan sekadar ingatan buruk, tetapi pengalaman emosional yang terekam dalam tubuh. Muncul dalam bentuk hipervigilansi, ketegangan otot, dan reaksi panik terhadap pemicu tertentu.
Ketiga, pemulihan trauma tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial, keluarga, komunitas, kebijakan pemerintah, hingga sistem budaya. Karena itu, dukungan psikososial harus diberikan secara berlapis dan komprehensif.
Iqbal menyarankan, dukungan psiko-sosial dalam bentuk intervensi yang menangani dua aspek sekaligus: Pertama, psikologis, stres, trauma, kecemasan, kehilangan; dan kedua sosial, relasi, lingkungan, keluarga, komunitas.
Menurutnya, satu pendekatan yang paling banyak digunakan adalah Psychological First Aid (PFA), yang dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan, relawan, guru, tokoh masyarakat, maupun responden darurat. Pendekatan PFA berfokus pada tiga prinsip utama: 1) Protect, untuk memastikan keselamatan fisik dan mengurangi paparan stres tambahan; 2) Connect, untuk membangun dukungan sosial, empati, dan keterhubungan; 3) Empower, untuk membantu penyintas mendapatkan kembali perasaan mampu dan kendali
Selanjutnya penyintas memerlukan dukungan Psiko-Sosial yang bersifat berlapis: Pertama, dukungan individual seperti screening stres dan konseling sederhana, latihan grounding dan manajemen emosi. Dan dukungan spiritual untuk memaknai kehilangan.
Kedua, dukungan keluarga seperti aktivitas keluarga (storytelling, relaksasi), edukasi orang tua tentang respon stres anak, dan penguatan peran keluarga sebagai unit dukungan utama.
Ketiga, dukungan komunitas seperti safe space untuk anak dan lansia, kegiatan berbasis budaya lokal dan tokoh agama, dan kolaborasi puskesmas, sekolah, dan NGO.
Keempat, dukungan sistem dan negara yang meliputi integrasi layanan mental health dalam BNPB dan Pemda, pelatihan massal PFA untuk relawan dan guru, dan anggaran rehabilitasi psikososial jangka panjang.
Iqbal juga menegaskan bahwa, selain kebutuhan dasar seperti makanan, air, selimut, dan tempat tinggal sementara, penyintas memerlukan dukungan emosional, yakni ruang aman untuk bercerita, terapi kelompok, aktivitas psikososial. Kemudian dukungan komunitas seperti solidaritas, interaksi sosial, dan pemulihan struktur sosial. Selanjutnya dukungan informasi, termasuk edukasi mitigasi, akses bantuan, dan literasi kesehatan mental. Juga penguatan fungsi keluarga, seperti membantu keluarga stabil, pulih, dan bangkit.
“Tujuan akhirnya adalah membangun resiliensi jangka panjang agar penyintas tidak hanya pulih sementara, tetapi mampu menghadapi dan membangun kembali kehidupan pasca bencana,” ujar Iqbal.
“Penyintas bencana tidak hanya kehilangan rumah dan harta benda, tetapi juga kehilangan rasa aman, kendali hidup, dan kadang makna keberadaan. Oleh karena itu, dukungan psikososial harus menjadi bagian utama dari penanganan bencana. Bencana boleh merusak bangunan, tetapi jangan sampai meruntuhkan harapan dan martabat manusia,” pungkasnya.
Google News: http://bit.ly/4omUVRy
Terbaru: https://jurnas.com/redir.php?p=latest
Langganan : https://www.facebook.com/jurnasnews/subscribe/
Youtube: https://www.youtube.com/@jurnastv1825?sub_confirmation=1
Muhammad Iqbal Psikososial Profesional Bencana Sumatera





















