Anggota Komisi V DPR RI Saadiah Uluputty. (Foto: Dok. Ist)
Jakarta, Jurnas.com - Anggota Komisi V DPR RI Saadiah Uluputty menyoroti potensi bias dan ketidakjelasan dalam penggunaan istilah “kepentingan komersial” yang tercantum dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 181/PUU-XXII/2024.
Putusan itu sebelumnya mengabulkan sebagian uji materiil Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan sebagaimana diubah melalui UU Nomor 6 Tahun 2023 (Cipta Kerja).
Saadiah menilai, meski putusan MK dimaksudkan untuk memberi perlindungan hukum bagi masyarakat adat dan lokal yang telah lama bermukim di kawasan hutan, justru diksi “tidak ditujukan untuk kepentingan komersial” bisa menjadi sumber multitafsir di lapangan.
“Istilah komersial itu sangat luas dan berpotensi ditafsirkan semaunya oleh aparat atau pejabat di lapangan. Kalau tidak ada batasan yang jelas, masyarakat adat yang menanam cengkih, pala, atau kelapa sejak turun-temurun bisa saja dianggap melakukan kegiatan komersial,” ujar Saadiah kepada wartawan di Jakarta, Rabu (5/11).
Ia mencontohkan, di daerah kepulauan seperti Maluku, masyarakat telah menempati kawasan hutan bahkan sebelum Indonesia merdeka.
Mereka mengelola lahan dengan menanam pohon-pohon produktif sebagai sumber kehidupan utama. Aktivitas itu, kata Saadiah, sama sekali bukan bentuk eksploitasi, tetapi cara bertahan hidup yang diwariskan antargenerasi.
“Kalau hasil kebun itu dijual untuk biaya sekolah atau kebutuhan sehari-hari, apakah itu disebut komersial? Ini yang tidak jelas. Jangan sampai masyarakat adat yang sudah menjaga hutan ratusan tahun justru dikriminalisasi karena tafsir kabur dari sebuah kata,” tegasnya.
Politikus PKS ini juga mendesak pemerintah bersama MK dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) segera menyusun pedoman pelaksana atau regulasi turunan yang memberikan kepastian hukum.
Menurutnya, tanpa panduan operasional yang jelas, putusan MK tersebut bisa kehilangan makna dan malah menimbulkan ketakutan baru bagi masyarakat hutan.
“Putusan MK ini seharusnya memperkuat perlindungan terhadap masyarakat adat, bukan malah membuka ruang abu-abu yang bisa disalahgunakan. Negara harus memastikan tafsir hukum tidak menindas yang lemah,” katanya.
Saadiah menilai, negara perlu membedakan secara tegas antara aktivitas ekonomi berskala besar dengan kegiatan subsistem masyarakat.
Sebab, lanjutnya, selama ini istilah “komersial” sering dipakai untuk membenarkan penindakan terhadap masyarakat lokal, sementara korporasi besar justru mendapat perlindungan hukum.
“Kalau masyarakat adat disebut komersial karena menjual hasil kebun, bagaimana dengan perusahaan besar yang menebang hutan ribuan hektar? Ini soal keadilan dan keberpihakan,” tandasnya.
Saadiah berharap pemerintah segera melakukan konsultasi publik dengan melibatkan masyarakat adat, akademisi, dan DPR untuk menegaskan batasan istilah kepentingan komersial dalam konteks putusan tersebut.
“Jangan biarkan kata yang tidak jelas merusak makna keadilan. Ini bukan hanya soal hukum, tapi juga soal kemanusiaan dan masa depan kehidupan masyarakat di kawasan hutan,” pungkasnya.
Sebelumnya, Ketua MK, Suhartoyo menyatakan, Pasal 17 ayat (2) huruf b dalam Pasal 37 angka 5 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai.
“Dikecualikan untuk masyarakat yang hidup secara turun-temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial,” ucapnya.
Google News: http://bit.ly/4omUVRy
Terbaru: https://jurnas.com/redir.php?p=latest
Langganan : https://www.facebook.com/jurnasnews/subscribe/
Youtube: https://www.youtube.com/@jurnastv1825?sub_confirmation=1
Warta DPR Komisi V masyarakat adat Saadiah Uluputty putusan MK perlindungan hukum

























