Ilustrasi pelecehan seksual (Foto: Doknet)
Jakarta, Jurnas.com - Pelecehan seksual masih menjadi salah satu bentuk kekerasan yang paling banyak menimbulkan trauma bagi korban. Di berbagai negara, tindak kejahatan ini mendapat hukuman yang berat—bahkan di beberapa tempat bisa berujung pada hukuman mati.
Namun, beratnya sanksi ini berbeda-beda tergantung pada sistem hukum, budaya, hingga nilai moral yang dianut masyarakat setempat.
Beberapa negara dengan sistem hukum berbasis syariah, seperti Arab Saudi dan Iran, dikenal tegas terhadap pelaku kekerasan seksual. Jika sebuah kasus disertai kekerasan ekstrem, pemaksaan, atau pembunuhan, pelaku bisa dijatuhi hukuman mati.
Tapi, tidak semua kasus pelecehan berujung eksekusi, banyak juga yang hanya dikenai hukuman penjara panjang atau cambuk publik sebagai bentuk efek jera.
Di Asia Tenggara, Singapura termasuk negara dengan sistem hukum yang keras tapi terstruktur. Untuk kasus pelecehan dan kekerasan seksual, pelaku bisa dijatuhi hukuman penjara hingga 20 tahun dan hukuman cambuk (caning). Hukuman fisik ini memang menuai pro-kontra, tapi di sisi lain dianggap berhasil menekan angka kekerasan seksual di negara tersebut.
India menjadi contoh negara yang memperkuat aturan setelah gelombang protes besar pada 2012 akibat kasus pemerkosaan brutal di Delhi. Sejak itu, hukuman untuk pelaku perkosaan dan pelecehan terhadap anak diperberat.
Jika korbannya anak di bawah umur atau disertai kekerasan berat, pelaku bisa dijatuhi hukuman mati atau penjara seumur hidup. Langkah ini dianggap sebagai bentuk reformasi hukum yang berpihak pada korban.
Sementara di Amerika Serikat, hukum pelecehan seksual lebih menekankan pada pencegahan jangka panjang. Pelaku tidak hanya menjalani hukuman penjara, tapi juga masuk dalam daftar pelaku seks (sex offender registry).
Artinya, setelah keluar dari penjara pun, mereka tetap diawasi dan tidak bisa bebas memilih pekerjaan atau tempat tinggal tertentu. Pendekatan ini menekankan keamanan publik dan tanggung jawab sosial.
Negara lain seperti Pakistan juga menerapkan aturan ketat. Berdasarkan hukum pidana negara tersebut, pelaku pemerkosaan atau pelecehan seksual berat dapat dijatuhi hukuman mati, tergantung pada beratnya kejahatan dan bukti yang diajukan. Meski begitu, lembaga hak asasi manusia terus mendorong sistem peradilan yang lebih transparan agar tidak terjadi penyalahgunaan pasal.
Beberapa negara maju seperti Korea Selatan dan Jepang kini mulai memperluas definisi pelecehan seksual ke ranah digital. Penyebaran foto atau video intim tanpa izin, termasuk penggunaan teknologi deepfake, dapat dihukum berat dengan ancaman penjara dan denda tinggi. Ini menunjukkan bahwa hukum terus beradaptasi dengan perubahan zaman dan teknologi.
Di sisi lain, organisasi internasional seperti Amnesty International dan Human Rights Watch mengingatkan bahwa hukuman ekstrem, seperti cambuk atau hukuman mati, bisa melanggar hak asasi manusia bila tidak disertai proses hukum yang adil. Mereka mendorong negara-negara untuk memperkuat perlindungan korban tanpa mengorbankan prinsip keadilan.
Pada akhirnya, beratnya hukuman hanyalah satu sisi dari solusi. Pendidikan seksualitas, kesetaraan gender, dan budaya yang menghormati tubuh dan batas pribadi justru menjadi pondasi utama untuk mencegah pelecehan seksual sejak awal. Karena tanpa perubahan cara berpikir masyarakat, sekeras apa pun hukuman yang dijatuhkan, kejahatan ini akan terus berulang.
Google News: http://bit.ly/4omUVRy
Terbaru: https://jurnas.com/redir.php?p=latest
Langganan : https://www.facebook.com/jurnasnews/subscribe/
Youtube: https://www.youtube.com/@jurnastv1825?sub_confirmation=1
hukuman pelecehan seksual hukuman mati kejahatan seksual dan HAM




























