
Ilustrasi - Gunung Padang di Cianjur, Jawa Barat (Foto: Radar Jabar)
Jakara, Jurnas.com - Situs Gunung Padang merupakan salah satu situs yang paling terkenal di Provinsi Jawa Barat. Meski bernama “gunung”, situs ini sebenarnya berada di ketinggian sekitar 885 meter di atas permukaan laut dan terletak di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur.
Popularitasnya bukan hanya karena lanskapnya yang unik, tapi juga karena keberadaan ribuan balok batu tua yang tertata dalam struktur punden berundak. Situs ini disebut-sebut sebagai peninggalan megalitikum terbesar di Asia Tenggara, bahkan diperkirakan lebih tua dari Piramida Giza.
Selain dikenal dengan keindahan pundenya, Situs Gunung Padang juga menyimpan berbagai kisah sejarah dan legenda yang berhubungan dengan asal-usul namanya.
Dikutip dari berbagai sumber, ada beberapa versi terkait asal-usul penamaan “Gunung Padang”. Terdapat beberapa penafsiran yang berkembang di masyarakat, baik yang bersifat linguistik maupun spiritual.
Versi pertama berasal dari bahasa Sunda, di mana kata “padang” bermakna terang, terbuka, atau lapang. Penafsiran ini dianggap masuk akal karena lokasi situs berada di puncak bukit yang terbuka dan relatif lebih cerah dibandingkan kawasan di sekitarnya yang tertutup hutan.
Selain sebagai gambaran geografis, makna “terang” juga dikaitkan dengan nilai-nilai spiritual. Dalam budaya Sunda kuno, terang bukan hanya cahaya fisik, tetapi juga simbol pencerahan batin.
Sementara itu, versi kedua menyebut bahwa “Padang” merupakan akronim dari tiga kata dalam bahasa Sunda lama: “Pa” berarti tempat, “Da” berarti agung atau besar, dan “Hyang” berarti leluhur atau roh suci. Jika digabungkan, maka “Padang” dimaknai sebagai “Tempat Agung Para Leluhur”.
4 Danau Eksotis Jawa Barat yang Wajib Dikunjungi
Penafsiran ini berkembang dari kepercayaan lokal bahwa Gunung Padang dulunya adalah tempat pemujaan spiritual. Sebuah ruang sakral tempat manusia berkomunikasi dengan alam dan leluhurnya.
Ada pula pandangan yang mengaitkan nama “Padang” dengan posisi situs yang menghadap ke arah Gunung Gede. Dalam sistem kepercayaan Sunda, Gunung Gede diyakini sebagai pusat energi spiritual, sehingga arah hadap situs dianggap bukan tanpa maksud.
Meski berbeda, ketiga versi tersebut saling melengkapi satu sama lain. Semuanya menegaskan bahwa Gunung Padang bukan hanya bukit berbatu, melainkan tempat yang sejak lama dipercaya menyimpan kekuatan dan kehormatan leluhur.
Secara geologis, Gunung Padang merupakan bagian dari sisa gunung api purba bernama Karyamukti yang telah lama mati. Lava yang membeku membentuk kolom-kolom batu andesit yang kemudian ditata manusia menjadi struktur punden berundak.
Jejak tertulis pertama tentang Gunung Padang muncul pada masa kolonial Belanda. Pada 1891, ahli geologi R.D.M. Verbeek mencatat situs ini, yang kemudian dilaporkan ulang oleh arkeolog N.J. Krom pada 1914 dalam jurnal Rapporten van den Oudheidkundinge Dienst.
Namun perhatian serius dari peneliti Indonesia baru muncul pada 1979, setelah warga menemukan susunan batu di bukit tersebut. Laporan warga itu lalu ditindaklanjuti oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yang melakukan survei awal.
Pada 1984, arkeolog Junus Satrio Atmodjo mengunjungi situs dan mendapati lima teras batu yang disusun secara berjenjang. Saat itu, situs sudah digunakan warga untuk berkebun dan ditumbuhi tanaman pangan seperti pisang, singkong, dan padi.
Junus tidak menemukan adanya jejak makam atau jenazah manusia seperti yang dulu diduga Krom. Ia justru menegaskan bahwa struktur punden di situs ini tampaknya lebih berfungsi sebagai tempat ritual dan peribadatan kuno.
Rencana pemugaran sempat disusun pada 1987, namun tak kunjung terealisasi karena perubahan struktur kelembagaan di kementerian kebudayaan. Sejak itu, penelitian terhenti dan Gunung Padang kembali terlupakan.
Kebangkitan narasi tentang Gunung Padang terjadi pada 2011, saat Yayasan Turangga Seta mengklaim situs ini sebagai piramida kuno tertua di dunia. Klaim ini didukung oleh pendekatan metafisika yang memicu perdebatan di kalangan ilmiah.
Pemerintah menanggapi dengan membentuk Tim Katastropik Purba yang menurunkan Tim Terpadu Riset Mandiri Gunung Padang. Sayangnya, riset besar tersebut terhenti pada 2014 akibat pergantian rezim dan ketidaktertiban arah kebijakan.
Kini, pemerintah kembali menggulirkan penelitian lanjutan terhadap situs ini. Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyatakan bahwa riset melibatkan lebih dari 100 peneliti dari berbagai disiplin ilmu.
Penelitian yang dijadwalkan dimulai Agustus 2025 ini juga akan melibatkan masyarakat sekitar. Harapannya, situs ini bisa diteliti secara menyeluruh sambil tetap dilestarikan sebagai bagian dari identitas budaya lokal.
Sampai saat ini, usia situs Gunung Padang masih menjadi perdebatan. Arkeolog memperkirakan rentangnya antara 500 hingga 2000 tahun sebelum Masehi, sementara geolog meyakini struktur bawah tanahnya bisa jauh lebih tua.
Meski belum semua misteri terkuak, Gunung Padang telah menjadi penanda penting dalam sejarah kebudayaan Nusantara. Dan nama “Padang”—dengan segala versi maknanya—menjadi simbol yang terus menghidupkan hubungan manusia dengan masa lalu leluhurnya.
Ketua tim peneliti Ali Akbar, dikutip Antara, memastikan timnya akan terus berusaha membuka berbagai tabir misteri yang tersimpan di situs prasejarah yang usianya lebih tua dari Piramida Giza di Mesir itu. (*)
KEYWORD :Gunung Padang Cianjur Jawa Barat Situs gunung padang