
Ilustrasi gunung berapi (Foto: Handout via Reuters)
Jakarta, Jurnas.com - Campi Flegrei, kawasan vulkanik aktif yang terletak di barat kota Napoli, kembali menjadi sorotan para ilmuwan setelah penelitian terbaru menunjukkan bahwa letusan bisa dicegah tanpa harus menyentuh magmanya. Alih-alih menunggu bencana, para peneliti justru mengusulkan pendekatan yang lebih praktis: kelola air sebelum tekanan bawah tanah mencapai titik kritis.
Temuan ini berasal dari riset tim internasional yang dipimpin Tiziana Vanorio dari Stanford Doerr School of Sustainability. Dilansir dari laman Earth, mereka mengungkap bahwa tekanan dalam reservoir hidrotermal di bawah Campi Flegrei meningkat akibat infiltrasi air hujan yang terus bertambah dari tahun ke tahun.
Melalui analisis data selama 40 tahun, termasuk catatan gempa, curah hujan, dan pengukuran permukaan tanah, diketahui bahwa tekanan air di bawah permukaan dapat memicu retakan batuan dan pelepasan uap. Proses ini kemudian menyebabkan gempa kecil yang menjadi pertanda awal dari potensi aktivitas vulkanik yang lebih besar.
Tujuh Gunung Api di indonesia Status Siaga III
Fenomena ini sudah terjadi beberapa kali, salah satunya saat tanah di sekitar Pozzuoli naik lebih dari dua meter pada awal 1980-an dan memaksa puluhan ribu warga mengungsi. Kini, sejak 2005 hingga 2024, tanah kembali mengembung sekitar satu meter, menandakan tekanan sedang terbangun kembali.
Siklus naik-turun tanah ini dikenal sebagai bradyseism, istilah yang sudah digunakan sejak abad ke-19 untuk menggambarkan pergerakan lambat namun terus-menerus. Setiap kali terjadi, bradyseism memicu gempa dangkal yang mengguncang rumah, merusak jalan, dan mengingatkan warga akan letusan uap dahsyat Gunung Monte Nuovo pada 1538.
Namun, berbeda dengan asumsi sebelumnya yang mengaitkan gejala ini dengan magma, studi terbaru menyebutkan bahwa penyebab utamanya adalah akumulasi air yang terjebak di bawah lapisan batuan keras yang disebut caprock. Lapisan ini terbentuk dari abu vulkanik yang mengeras dan mampu menahan tekanan hingga batas tertentu sebelum akhirnya pecah.
Untuk memahami mekanisme ini, para peneliti mensimulasikannya di laboratorium dengan memanaskan campuran abu vulkanik dan batuan dalam tekanan tinggi. Hasilnya menunjukkan bahwa lapisan ini bisa “menyembuhkan diri” setelah pecah, dan bahkan menjadi lebih kuat, menjelaskan mengapa aktivitas seismik di Campi Flegrei bersifat berulang.
Karena itulah, para ilmuwan mengusulkan pendekatan mitigasi yang belum pernah dicoba sebelumnya: mengendalikan volume air yang masuk ke sistem bawah tanah. Dengan mengurangi limpasan air hujan, memperbaiki drainase kuno, dan memompa air keluar melalui sumur strategis, tekanan bisa dijaga agar tetap di bawah ambang batas bahaya.
Model yang mereka bangun memperkirakan bahwa hanya dengan memompa beberapa ratus ribu galon air per hari, tekanan bisa dikendalikan dan potensi gempa serta letusan bisa ditekan secara signifikan. Strategi ini disebut sebagai pendekatan “preventif” terhadap gunung berapi, mengobati bahan bakarnya sebelum mencapai pemicu.
Lebih lanjut, para peneliti menyoroti peran perubahan iklim dalam mempercepat proses ini. Hujan yang makin ekstrem dan tidak merata di wilayah selatan Italia mempercepat pengisian reservoir bawah tanah, memperpendek jeda antara satu fase bradyseism dengan fase berikutnya.
Kondisi ini berpotensi mempercepat siklus krisis seperti yang pernah terjadi pada 1982 hingga 1984, ketika ribuan warga dipindahkan secara mendadak tanpa kepastian dan informasi yang memadai. Ketika itu, minimnya pemahaman publik dan lemahnya koordinasi antar lembaga menyebabkan kepanikan dan kerugian besar.
Sejak saat itu, Italia telah memperbaiki sistem peringatan dini dan edukasi masyarakat, namun tantangan besar tetap ada dalam menyelaraskan ilmu pengetahuan dengan kebijakan publik. Studi terbaru ini berupaya menjembatani celah tersebut dengan menyodorkan solusi berbasis data yang mudah dipahami dan langsung bisa diterapkan oleh otoritas.
Sebagai langkah awal, Badan Perlindungan Sipil Italia mulai meninjau ulang jaringan kanal air peninggalan era Renaissance yang selama ini terabaikan. Jika uji coba pemompaan berhasil dilakukan, Campi Flegrei bisa menjadi contoh pertama gunung berapi aktif yang dikelola seperti sistem air kota—bukan sekadar ditunggu kapan akan meledak.
Studi ini dipublikasikan di jurnal Science Advances dan menjadi babak baru dalam cara manusia berinteraksi dengan kekuatan geologi yang sebelumnya dianggap mustahil dikendalikan. Kini, dengan bantuan ilmu pengetahuan, gunung api tidak lagi hanya menjadi ancaman, tapi juga sistem yang bisa dimitigasi sebelum terlambat. (*)
KEYWORD :Letusan gunung berapi pencegahan bencana vulkanik gunung api penelitian vulkanologi