Selasa, 16/04/2024 13:07 WIB

Angket DPR ke KPK Dinilai Banyak Kejanggalan

Hak angket berdasarkan pasal 119 Undang-undang MPR, DPR, DPD dan DPRD, harus diusulkan oleh 25 anggota.           

Ilustrasi Gedung DPR

Jakarta - Pengusulan hak angket Dewan Perwakilan Rakyat atas Komisi Pemberantasan Korupsi menuai kritik sejumlah kalangan. Tak terkecuali Indonesia Corruption Watch.

Koordinator Divisi Korupi Politik ICW Donald Fariz menilai banyak kejanggalan pengusulan hak angket tersebut. Pasalnya, hak angket berdasarkan pasal 119 Undang-undang MPR, DPR, DPD dan DPRD, diusulkan oleh 25 anggota.           

"Pertanyaannya kemarin itu yang mengusulkan sampai tidak 25 orang? Yang beredar di saya, itu hanya ada 16 pengusul. Setelah (paripurna menyetujui) angket, baru ada 26 orang," ungkap Donal dalam diskusi bertartuk `Meriam DPR untuk KPK` di Jakarta, Sabtu (6/5/2017).

Menurut Donal, saat ini anggap mengenai syarat pengusulan sudah terpenuhi atau tidak. Kemudian, lanjut Donal, apakah saat paripurna itu pengambilan keputusan dihadiri oleh setengah anggota plus satu orang. "Mekanisme secara formal dijalankan? Tidak," ucap dia.

Selain itu, kata Donal, mekanisme di dalam tata tertib nomor 1 tahun 2014 dinilai tidak dijalankan. Padahal, menurut Donal, voting harud dilakukan ketika tidak mencapai musyawarah mufakat.

"Berapa anggota DPR yang setuju angket kemarin pasti tidak tahu karena tidak pernah dihitung," tutur dia.

Sebab itu, tegas Donald, bagaimana publik akan mempercayai DPR mengawasi perundang-undangan. Sementara disisi lain UU tak ditaati internal DPR. "Misalnya, soal mekanisme hak angket kemarin," imbuh Donald.

Karena itu, Donald tak hanya menganggap angket ini sebagai meriam DPR untuk KPK. Tapi, ungkap Donal, sebagai teror dan premanisme. "Ini juga sebagai teror dan premanisme kepada KPK," ujar dia.

Dijelaskan Donald, ada dua metode premanisme yang dilakukan terhadap KPK belakangan ini. Pertama, kata Donal, premanisme berupa penyerangan secara fisik kepada penyidik KPK Novel Baswedan. "Ini belum diketahui siapa pelakunya," kata dia.

Kedua, lanjut Donal, yakni premanisme poltik dalam hak angket. "Angket kemarin karena tidak dilakukan tata aturan maka yang terjadi mekanisme politik. Jadi,  premanisme secara politik, bukan orangnya (anggota DPR yang preman), bukan," tutur dia.

Donal lebih lanjut mengatakan, pengambilan keputusan pada rapat paripurna kemarin, merendahkan anggota DPR lain. Pasalnya, pemegang palu sidang seolah-olah sebagai pengambil keputusan.

Sementara, lanjut Donal, suara anggota dihilangkan. Padahal, keputusan dalam paripurna harus disetujui setengah dari anggota DPR.

"Maka anggota  harus dihitung. Kalau ada interupsi dan tidak dilakukan, menurut saya merendahkan anggota lain," imbuh dia.

Hal tak jauh berbeda disampaikan pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hajar. Fickar juga heran dengan fraksi-fraksi yang mengusulkan hak angket di DPR merupakan partai pendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Padahal, kata Fickar, penggunaan hak angket ini bisa mengarah ke pemerintah. "Saya sepakat dengan judul ini, hak angket ada kriterianya, kenapa fraksi pendukung pemerintah mendukung angket? Sasaran angket ini kan ke pemerintah," ungkap Fickar.

Fickar mengkhawatirkan penggunaan hak angket DPR kepada KPK ini akan masuk dalam pengusutan kasus hukum yang tengah dilakukan saat ini. Termasuk kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP. Apalagi, lanjut Fickar, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP, Masinton Pasaribu kerap menyebut bahwa hak angket ini berawal dari dugaan ancaman kepada mantan anggota Komisi II DPR dari Fraksi Hanura Miryam S Haryani oleh sejumlah anggota dewan.

"Artinya mau masuk juga ke wilayah itu (proses penegakan hukum e-KTP," ucap Fickar.

KEYWORD :

ICW Hak Angket DPR




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :