Kamis, 02/05/2024 02:05 WIB

Jejak Polusi Penerbangan Privat Jet Tiga Pasang Capres Capai 1,2 Juta Kg

Jumlah total estimasi emisi CO2 penerbangan tiga paslon selama kampanye ini setara dengan emisi penerbangan yang dihasilkan oleh sekitar 37.539 orang di Indonesia.

Prabowo Subianto dengan jet pribadinya. Foto: Ist

JAKARTA, Jurnas.com - Pemantauan penerbangan private jet kandidat Capres-Cawapres 2024 selama kampanye meninggalkan jejak polusi udara atau emisi karbondioksida (CO2) mencapai mencapai 1.276.342 kg.

Demikian hasil analisis Trend Asia yang melakukan pemantauan terhadap ketiga pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden selama periode kampanye pada 28 November 2023 hingga 4 Februari 2024 atau 62 hari (92%) masa kampanye.

“Jumlah perjalanan udara yang kami analisa sebanyak 235 kali dengan berbagai tipe pesawat dengan total jarak tempuh 174.108,37 Kilometer (Km). Semuanya penerbangan domestik,” kata Direktur Program Trend Asia, Ahmad Ashov Birry di Jakarta, Selasa (13/2/2024).

Ahmad Ashov Birry menduga, data penerbangan tersebut lebih banyak dari data yang tersaji untuk publik. Apa yang tersaji ini adalah puncak dari gunung es emisi penerbangan kandidat.

“Jejak karbon dari tiga paslon ini sangat tinggi terkait pemakaian pesawat, sehingga jelas berkontribusi memperparah pemanasan global. Apalagi pemakaian private jet jelas menunjukkan gaya hidup mahal dan mewah para paslon, sementara rakyat sedang menghadapi kesusahan. Seharusnya mereka bisa memakai pesawat komersial atau moda alternatif lain yang mungkin dan lebih rendah emisi untuk mengurangi jejak karbon selama kampanye sekaligus untuk menunjukkan komitmen serta arah transisi energi ke depan,” kata Ahmad Ashov Birry.

Jumlah total estimasi emisi CO2 penerbangan tiga paslon selama kampanye ini setara dengan emisi penerbangan yang dihasilkan oleh sekitar 37.539 orang di Indonesia atau lebih banyak dari emisi penerbangan yang dihasilkan seluruh penduduk Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat dengan asumsi emisi penerbangan per kapita di Indonesia sebanyak 34 kg.

“Terjadi ketimpangan emisi di mana perjalanan semua paslon ini menghasilkan CO2 setara dengan emisi penerbangan domestik warga satu kabupaten di Papua. Ini sebuah ironi. Para paslon membicarakan masa depan Indonesia di atas private jet, sehingga mereka berjarak dari penderitaan rakyat. Masa depan Indonesia dibicarakan di atas kemewahan yang jauh dari situasi sehari-hari rakyat,” tambah Zakki Amali, Manajer Riset Trend Asia.

Temuan tersebut sangat jelas menunjukkan ketimpangan emisi. World Inequality Database (WID) mengungkapkan bahwa pada 2019 terdapat 10% populasi orang terkaya di Indonesia menghasilkan 11,1 ton karbondioksida ekuivalen per kapita CO2 dari seluruh sektor.

Pada tahun sama, 1% populasi orang terkaya di Indonesia menghasilkan 38,7 ton CO2 dari seluruh sektor. Sementara itu, dalam periode sama, per kapita di Indonesia menghasilkan 3,3 ton CO2.

Data ini menunjukkan bahwa emisi dari 10% orang terkaya Indonesia tiga kali lipat dari rata-rata emisi nasional dan 1% orang terkaya mengeluarkan emisi setara emisi dari 12 individu umum. Jejak karbon dua kelompok ini menunjukkan ketimpangan emisi.

“Data ini menyoroti ketimpangan yang signifikan dalam emisi gas rumah kaca antara kelompok terkaya dan populasi umum di Indonesia. Kelompok-kelompok terkaya memiliki jejak karbon per kapita yang sangat besar dibandingkan dengan rata-rata nasional. Emisi yang dihasilkan oleh kelompok terkaya harus diatasi, misalnya dengan redistribusi kekayaan atau dengan menaikan pajak untuk orang kaya dan tidak mengulangi kebijakan semacam Tax Amnesty yang hanya menguntungkan orang kaya,” ujar Zakki.

 

Tren Gas Rumah Kaca

Trend Asia merilis, tren gas rumah kaca (GRK) Indonesia periode 2000-2019 menunjukkan sektor energi menjadi penyebab pertama dengan 9.130.242 Gigaton karbondioksida ekuivalen (Gg CO2e) atau 39,18% dari total GRK seluruh sektor sebesar 23.298.154 Gg CO2e.

Dari GRK sektor energi terdapat GRK sub-sektor transportasi dalam periode sama sebanyak 2.097.378 Gg CO2e atau 22,97% dari GRK sektor energi.2 GRK sub-sektor transportasi tersebut dibagi tiga yaitu penerbangan sipil dengan 166.326 Gg CO2e atau 7,93%; transportasi darat (jalan raya dan kereta api) dengan GRK periode sama 1.926.672 Gg CO2e atau 91,86%; transportasi berbasis navigasi air dengan 4.378 Gg CO2e atau 0,2.

Data tersebut menunjukkan bahwa GRK penerbangan sipil menempati urutan kedua dalam GRK sub-sektor transportasi dengan kontribusi 7,93%. Dibandingkan dengan total GRK seluruh sektor, GRK penerbangan sipil berkontribusi 0,71% selama periode 2000-2019.

Emisi sektor penerbangan sipil merupakan salah satu masalah serius, khususnya dalam penggunaan private jet. Laporan International Energy Agency (IEA) tahun 2022 menyebutkan bahwa penerbangan berkontribusi 2% pada emisi CO2 secara global dan jumlah emisi yang dihasilkan dari penerbangan privat lebih tinggi dibandingkan penerbangan komersial.

Menurut studi Transport & Environment (2021), polusi per penumpang yang ditimbulkan oleh private jet lebih banyak 5-14 kali dari penerbangan komersial dan private jet 50 kali lebih berpolusi dibanding moda transportasi kereta.

Private jet memiliki daya rusak lebih besar jika dibandingkan moda transportasi lain. Ia lebih berpolusi karena emisi penerbangan dihitung berdasar jumlah penumpang, semakin sedikit jumlah penumpang, maka semakin jejak karbon per individu semakin tinggi.

Data ini menunjukan bahwa seharusnya penanganan emisi sektor transportasi seperti penerbangan private menjadi perhatian para kandidat sebagai langkah untuk menekan GRK.

KEYWORD :

Trend Asia Emisi CO2 Polusi Capres GRK




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :