
Presiden Joko Widodo (Jokowi). (Foto Ist)
Jakarta, Jurnas.com - Gelombang kekecewaan terhadap pemerintahan Presiden Jokowi terus berdatangan. Akademisi dan para aktivis demokrasi menyoroti rusaknya proses demokrasi Pemilu 2024.
Jokowi melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas usia capres-cawapres, disebut-sebut berupaya membangun dinasti politik.
Melalui putusan MK yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagaii calon wakil presiden di Pilpres 2024, Ketua MK Anwar Usman harus dipecat.
Sementara Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari mendapatkan sanksi berupa teguran keras dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena melanggar etik.
Aktivis 98 Prijo Wasono mengatakan, kekecewaan terhadap Jokowi sudah mulai muncul pada periode kedua. Terlebih saat Jokowi mengangkat Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan.
Padahal Jokowi telah berjanji akan menuntaskan masalah pelanggaran HAM tahun 1998. Namun, kata Prijo, hingga periode kedua ini, Jokowi tak kunjung menyelesaikan permasalahan HAM.
"Sebetulnya kekecewaan terhadap Jokowi ini sudah mulai muncul pada periode kedua ya. Di mana waktu itu tiba-tiba Jokowi merekrut Prabowo sebagai Menhan," kata Prijo dalam Diskusi Daring bertajuk Seruan Moral Bergema: Dejavu 98 Apakah Terulang? yang digelar Forum Intelektual Muda, Senin (5/2/2024) malam.
Prijo menyebut bahwa kegelisahan dan kekecewaan masyarakat terhadap Jokowi sudah mulai muncul. Namun, kata Prijo, situasi politik saat ini sangat sulit untuk sadar bersama.
"Nah, baru kemudiam kesadaran, kemarahan rakyat ini meluas ketika MK secara mengejutkan, membuat keputusan yang memungkinkan Gibran bisa masuk ke cawapres," kata dia.
Prijo menyebut, kesadaran dan kemarahan itu meluas di kalangan masyarakat. Baik di akademi, aktivis, mahasiswa, seniman, hingga tokoh masyarakat dan tokoh agama.
"Ya ini adalah persoalan moral dan etik yang sudah dilanggar dengan brutal begitu. Dan sangat memalukan. Kami sebagai warga Solo juga sangat malu sebetulnya, kenapa Jokowi begitu serakah, begitu brutal di akhir periode. Dia dengan berbagai cara kemudian berupaya agar Gibran ini lolos sebagai cawapres," kata Prijo.
"Gelagat ke sana sebenarnya sudah kelihatan lama. Jadi meskipun keputusan MK belum disahkan waktu itu, tapi setelah Gibran menjadi Wali Kota, konsolidasi relawan Gibran sudah mulai dijalankan di berbagai kota,” lanjutnya.
Prijo menyebut bahwa hal itu menjadi upaya dari Jokowi untuk meloloskan Gibran Rakabuming sebagai cawapres. Sehingga, kesadaran dan kemarahan rakyat terhadap Jokowi pun sudah meluas.
Dalam kesempatan yang sama, Co-Founder Forum Intelektual Muda Muhammad Sutisna mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia diambang kehancuran, akibat segelintir orang. Mereka berupaya menekan kekuatan rakyat agar tidak mengambil peranan di Pemilu 2024.
“Padahal kita tahu bahwa demokrasi itu ya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Rasanya itu jauh dari semangat penguasa saat ini,” ujarnya.
Melalui diskusi bersama kelompok pemuda dan mahasiswa, Sutisna ingin mendorong agar ikhtiar menjaga demokrasi terus dilakukan. Baginya, akal sehat dan idealisme harus terus dipertahankan agar kemajuan Indonesia tidak terhambat oleh praktik KKN, yang mulai terlihat di negeri ini.
“Kita akan terus berdiskusi mengkritisi yang salah dari perjalanan demorkasi kita,” pungkasnya.
Diketahui, Diskusi Daring bertajuk Seruan Moral Bergema: Dejavu 98 Apakah Terulang? yang digelar Forum Intelektual Muda menghadirkan Pemerhati Sosial Politik Surya Fermana, Akademisi UIN Sunan Kalijaga El Guyanie dan Aktivis 98 Prijo Wasono sebagai narasumber. Hadir pula puluhan pemuda dan mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia sebagai peserta dalam diskusi tersebut.
KEYWORD :Seruan Moral Bergema Pemilu 2024 Presiden Jokowi Dinasti Politik