Kamis, 25/04/2024 10:46 WIB

UU TPKS Hindari Potensi APH Jadikan Korban Alami Kekerasan Seksual Berulang

UU TPKS memastikan korban kekerasan seksual mendapatkan penanganan yang cepat dan akurat. Layanan serta mobilisasi pun dilakukan oleh tim penanganan kasus, bukan oleh korban.

Wakil Ketua Baleg DPR RI, Willy Aditya. (Foto: Parlementaria)

Jakarta, Jurnas.com - Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Willy Aditya menegaskan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual akan menghindari potensi Aparat Penegak Hukum (APH) menjadikan korban mengalami kekerasan berulang saat proses penanganan dan penyidikan kasus kekerasan seksual.

Kemudian, lanjut dia, perkara tindak pidana kekerasan seksual juga tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak.

UU TPKS memastikan korban kekerasan seksual mendapatkan penanganan yang cepat dan akurat. Layanan serta mobilisasi pun dilakukan oleh tim penanganan kasus, bukan oleh korban,” tegas Willy, Kamis (25/5). 

Lebih lanjut, Politikus NasDem ini memaparkan UU TPKS juga akan mengatur hukum acara kasus kekerasan seksual dengan lebih komprehensif. Mulai dari, sebutnya, tahap penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan di sidang pengadilan dengan tetap memperhatikan dan menjunjung tinggi HAM, kehormatan, serta tanpa intimidasi.

“Dengan UU TPKS, segala prosedur dan mekanisme juga bisa segera diatasi dengan cepat ketika ada hambatan dalam penanganan. Misalnya terkait bukti, korban dapat menjadi saksi atas dirinya,” jelasnya.

Dirinya menambahkan, UU TPKS tak hanya dapat menangkap dan menetapkan tersangka kepada pelaku tindak pidana kekerasan seksual, tapi juga bisa memenuhi hak-hak lain korban.

“Di antaranya, pemulihan psikologis, restitusi, denda bagi pelaku, dan kebutuhan lainnya yang diasesmen oleh pendamping korban,” terangnya.

Menurut Legislator dari Dapil Jawa Timur XI ini, UU TPKS pun dapat menjadi sarana efek jera bagi pelaku kekerasan seksual karena hukuman dan dendanya cukup besar, yakni mencapai hingga 15 tahun dan denda senilai Rp 1 miliar. Jika denda itu tidak bisa dibayarkan oleh pelaku, kata Willy, maka bisa diganti dengan hukuman penjara.

“Termasuk aturan restitusi yang nilainya didasarkan pada jenis kejahatan yang dilakukan, lamanya ancaman pidana, dan kondisi ekonomi pelakunya. Penetapan restitusi dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan pengadilan,” jelasnya.

Willy mengatakan, memang penyelesaian peraturan turunan UU TPKS ditargetkan selesai dalam waktu dua tahun setelah diundangkan. Namun ia mengingatkan, peraturan pelaksana penting mengingat UU TPKS menjadi tumpuan dalam mencegah dan menanggulangi kasus kekerasan seksual. 

“Kasus kekerasan seksual sudah jadi momok di negeri ini. Jadi semakin cepat aturan teknis UU TPKS diterbitkan, semakin baik. UU TPKS juga tak hanya dapat melakukan penanganan kasus, tapi juga mengatur pencegahan kekerasan seksual sehingga harapannya gunung es ini bisa berkurang,” sambungnya.

Dalam proses pencegahan dan penanganan korban kekerasan, menurut Willy, diperlukan sinergi dan koordinasi semua pihak. Baik dari pemerintah pusat hingga desa, organisasi mitra pembangunan, tokoh masyarakat, dan elemen bangsa lainnya.

“Kami mengharapkan komitmen Pemerintah untuk segera membentuk aturan teknis UU TPKS. Ini menjadi upaya negara dalam melindungi setiap warga negara dari ancaman tindak kekerasan seksual,” demikian Willy.

KEYWORD :

Warta DPR Baleg Willy Aditya NasDem UU TPKS kekerasan seksual




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :