Rabu, 24/04/2024 09:01 WIB

Catatan Jurnalis

Tersesat dan Wanita Cantik di Bangkok (2)

Wanita itu kembali mengutak-atik iPhone, mencoba membantuku sebisanya. Aku kembali mengarahkan pandangan memperhatikan gerak-gerik.

Bersama rombongan di Bangkok, Thailand

Hampir setengah jam aku terpisah dari rombongan. Hilang di tengah keramaian yang entah di mana ujung dari kota ini. Ternyata aku salah, mereka bukan di Emporium. Emporium hanyalah sebuah mal mewah yang tidak memiliki keunikan khusus sebagai tempat untuk makan malam. Walhasil, di tengah rasa putus asa, aku melangkahkan kaki menuju layanan customer service.

Dengan kosa kata seadanya aku memberitahu petugas customer service bahwa saat ini aku tersesat. Jika memang sebuah lagu cukup mewakili perasaanku, pada saat ini aku ingin melafalkan lirik “..Aku tersesat dan tak tahu arah jalan pulang.. bla bla bla”.

“Nomor yang kamu kasih tidak bisa dihubungi,” jawab wanita yang ku taksir usianya masih 28 tahun-an. Aku kembali mengajukan nomor lainnya, namun tetap saja hasilnya nihil.

Wanita itu kembali mengutak-atik iPhone, mencoba membantuku sebisanya. Aku kembali mengarahkan pandangan memperhatikan gerak-geriknya. Dari depan wanita itu mengenakan baju hitam formal lengan pendek dipadukan dengan rok hitam yang hampir mencapai lutut.

Di lehernya tampak sedikit kain merah tua yang dililit sedemikian rupa. Rambutnya sebahu hitam legam khas Asia. Kelihatan seperti customer service pada umumnya, hanya saja lipstik yang ia kenakan menurutku terlalu tebal dan merah.

Wanita customer service kembali menggeleng untuk ke sekian kalinya. Seluruh nomor yang aku berikan sudah ia coba, dan tidak satu pun berhasil dihubungi. Aku kembali memintanya membantuku terkoneksi dengan jaringan Wi-Fi. Namun, tetap saja gagal. Entah apa penyebabnya.

Aku bersandar lemas tak berdaya. Kecerobohanku berujung kesialan. Pikiranku mulai dibayang-bayangi bahwa malam ini aku akan menggelandang tanpa tujuan di tengah kota yang nyaris tak ada yang aku kenal siapa pun, kecuali duta besar yang aku wawancarai pada hari pertama. Itu pun kalau aku masih diingat dengan jelas.

“Can I Help You?” suara wanita lainnya membuyarkan lamunanku. Suaranya tak sama dengan wanita customer service tadi.

Wanita ini adalah petugas customer service lainnya setelah petugas customer service pertama tidak bisa membantuku banyak. Tanpa banyak basa-basi, wanita cantik perawakan sekira usianya 25 tahun ini membawaku ke lantai dasar untuk melakukan panggilan internasional.

Perhatianku terpecah sesaat. Kini aku tak hanya memikirkan bagaimana kembali kepada rombongan. Paras ayu serta tutur lembut wanita customer service itu membuat kedua mataku tak berkedip. Cantik. Entah kerasukan setan mana, aku mampu berbahasa Inggris dengan lancar untuk menjawab setiap pertanyaannya, atau sekedar melakukan basa-basi gombal.

“Sudah, biar aku bagi koneksi hotspotku agar kamu bisa tersambung dengan teman-temanmu,” kata wanita customer service. Tampaknya ia sudah menyerah untuk menyambungkan handphoneku dengan jaringan Wi-Fi.

“Ayo silahkan duduk,” tambahnya memintaku duduk di sofa dekat konter pengaduan internasional. Aku duduk untuk sekadar mengurangi kepanikanku.

Tak sampai beberapa detik setelah tersambung melalui hotspot, puluhan pemberitahuan muncul di layar handphoneku. Kepala rombongan yang sudah khawatir sejak tadi menanyakan keberadaanku. Semenit kemudian, pesan berisi alamat di mana rombongan sedang berkumpul aku terima.

Aku bergegas mematikan HP dan mengucapkan banyak terima kasih kepada wanita itu. Menikmati percakapan dengannya membuatku enggan untuk cepat-cepat meninggalkan ruangan layanan internasional tersebut. Lagi pula wanita itu pun masih sempat menawariku minum air putih yang tak disadari telah berada di atas meja kecil di depan tempatku duduk. Sambil mengulur waktu, aku sempat berdikusi kecil dan bertanya ke mana arah yang harus tempuh untuk menuju posisi rombonganku saat ini.

Saat hendak meninggalkan tempat, wanita customer service kembali menawarkan untuk mengantarku hingga ke pintu keluar. Aku mengangguk cepat.

“Kamu baru pertama kali ke Bangkok?” tanya wanita itu saat tangga eskalator mulai berjalan naik melewati dua lantai.

“Iya. Saya dari Indonesia,” jawabku singkat.

Ia mengangguk sembari menggumamkan nama Indonesia, seolah mengiyakan tampangku yang mirip dengan orang Indonesia kebanyakan.

“Terima kasih sudah mengantar saya sampai di sini,” ucapku sesaat setelah tiba di depan pintu keluar.

Pikiran aku tambah genit. Bibirnya merekahkan senyum. Manis sekali. Pekat, hingga tak mudah dilupakan.

“Kalau boleh tahu, siapa namamu?” tanyaku sebelum benar-benar meninggalkan wanita customer service.

Dia menjawab, namun tak begitu jelas. Maksud hati ingin menanyakan kembali, namun kekhawatiran untuk segera kembali ke rombongan membuatku lekas bergegas.

“Namaku Muti,” ucapku setengah berlari. Wanita itu kembali tersenyum. Membuat konsentrasiku kembali buyar.

“Oke, Muti,” jawabnya kemudian disambung dengan sebuah lambaian tangan.

Tak butuh waktu semenit, aku telah menghilang dari Emporium, berbelok menuju jalan Sukhumvit Soi 22. Nyasar. Tapi kayaknya terpicut dengan wanita itu. Oh indahnya. Ini mungkin seperti iklan, “Nyasar Membawa Nikmat”.

KEYWORD :

Catatan Jurnalis Bangkok Thailand




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :