Jum'at, 17/05/2024 16:10 WIB

Fenomena Glass Ceiling Hambatan Wanita Berkarier

Ketimpangan gender masih terjadi karena kelompok penduduk pria dan wanita belum memiliki akses yang sama atau setara untuk berperan dalam pembangunan.

Webinar HerStory bertajuk Breaking the Glass Ceiling: Women Leaders on Economic Empowerment, yang berlangsung pada awal pekan ini.

JAKARTA, Jurnas.com - Dunia kerja saat ini masih didominasi kaum pria. Di samping itu, para wanita sering kali menemukan kesulitan untuk bisa menduduki posisi atau jabatan strategis yang lebih tinggi atau disebut fenomena glass ceiling.

Pemimpin Redaksi HerStory, Clara Aprilia Sukandar menjelaskan, dalam ekonomi, glass ceiling merupakan metafora yang mengacu pada situasi di mana kemajuan orang yang sejatinya memenuhi syarat dalam hierarki organisasi dibatasi pada tingkat yang lebih rendah karena beberapa bentuk diskriminasi, paling umum seksisme atau rasisme.

"Fenomena glass ceiling umumnya terjadi pada perempuan dan kelompok minoritas lain, seperti orang dengan disabilitas," kata Clara pada Webinar HerStory bertajuk Breaking the Glass Ceiling: Women Leaders on Economic Empowerment, yang berlangsung pada awal pekan ini.

Berdasarkan data dari BPS, indeks ketimpangan gender (IKG) dan data gender Inequality Index (GII) dari UNDP, ketimpangan gender masih terjadi karena kelompok penduduk pria dan wanita belum memiliki akses yang sama atau setara untuk berperan dalam pembangunan. Indikator ini diukur dari aspek kesehatan, peemberdayaan, serta akses dalam pasar tenaga kerja.

"Kenaikan pertumbuhan ekonomi belum setara dengan angka ketimpangan gender. Pasalnya, angka ketimpangan gender masih tinggi di Indonesia, meskipun angkanya terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun," katanya.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengatakan, perlindungan dan pemenuhan hak yang setara bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk perempuan dan anak telah diamatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Bintang menuturkan, menurut analisa dari ILO pada Juni 2020, secara rata-rata, laki-laki di Indonesia memiliki pendapatan 20 persen sampai 23 persen lebih besar dari wanita Indonesia.

"Faktor yang memperburuk kesenjangan di Indonesia bukanlah disebabkan karena kemampuan dan pendidikan antara wanita dan pria, melainkan karena pandangan terhadap pembagian peran yang dapat dilakukan wanita dan pria yang merupakan dampak dari adanya diskriminasi," ujar Bintang.

Head of Commercial Business Development PT HM Sampoerna Tbk, Rima Tanago menjelaskan, Sampoerna selalu berkomitmen untuk memelihara praktik dan lingkungan kerja yang inklusif dan beragam, serta memperlakukan karyawan dan orang lain dengan hormat tanpa diskriminasi.

"Sampoerna percaya bahwa inclusion and diversity merupakan hal yang krusial untuk dijalankan karena membawa impact yang positif terhadap bisnis dan karyawan. Jadi, kita fokuskan pada tiga hal, yaitu dukungan untuk pengembangan karier, edukasi mengenai pentingnya inklusivitas, dan pengadaan sarana dan prasarana sesuai dengan kebutuhan gender,"  tutur Rima Tanago.

Dalam acara yang sama, Direktur Perbenihan Hortikultura Kementerian Pertanian (Kementan), Inti Pertiwi Nashwari menjelaskan, wanita wajib sadar bahwa mereka adalah pelaku sekaligus subyek rentan yang langsung terdampak dari berbagai permasalahan global, termasuk di sektor sosial-ekonomi pertanian.

"Selain itu, wanita juga bisa menjadi agen perubahan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan tersebut bila diberdayakan dan diberikan kesempatan yang setara. Dalam berbagai diskursus dan proses pengambilan kebijakan, sudah selayaknya memakai perspektif yang peka dan responsif terhadap gender," tutur Inti.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa hampir 50 persen pekerja sektor pertanian di negara berkembang adalah perempuan. Namun, produktivitas mereka terbatas karena adanya hambatan struktural dan kultural terhadap akses pengetahuan, keterampilan, hingga permodalan.

Adanya tradisi di kalangan keluarga petani untuk mewariskan ilmu dan usaha tani ke generasi laki-laki membuat posisi dan pengaruh mereka lebih dominan di sektor pertanian.

Padahal, wanita tani sering kali memiliki tanggung jawab yang berat, mulai dari mengasuh anak, mengerjakan urusan rumah tangga, sekaligus membantu suaminya bekerja di ladang. Ironisnya, mereka kerap kali dibayar lebih rendah atau bahkan tanpa upah.

Pada dasarnya, setiap wanita bisa sukses ketika berusaha semaksimal mungkin di tengah adanya keterbatasan. Seorang feminis Maya Angelou mengatakan bahwa kita mungkin menghadapi banyak kekalahan, tapi kita enggak boleh dikalahkan.

KEYWORD :

Fenomena Glass Ceiling Wanita Berkarier Clara Aprilia Sukandar Inti Pertiwi Nashwari Ketimpangan Gen




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :