Minggu, 09/12/2018 22:08 WIB
Tehran - Presiden Iran, Hassan Rouhani mencela keputusan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump menyusul sanksi ekonomi Teheran. Ia menyebut sanksi itu bentuk terorisme ekonomi.
Dalam konferensi keamanan regional di Teheran, Sabtu (8/12), Rouhani mengatakan tekanan AS terhadap Iran jelas saat Trump keluar dari kesepakatan nuklir 2015, juga dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA).
Dilansir dari Al Jazeera, pria 70 tahun itu juga menuduh administrasi Trump mencoba menimbulkan ketakutan di antara negara-negara lain untuk mencegah berinvestasi di Iran.
Inovasi Tren Minuman Kekinian, Polaris Gelar Kompetisi Mixologist Pertama di Indonesia
May Day, Partai Buruh Dukung Program Prabowo-Gibran
Selalu Spektakuler, Zendaya Masih Bingung Pakai Gaun Apa di Met Gala 2024
Pada Mei, Trump mengumumkan keluar dari kesepakatan nuklir. Keputusan itu sekaligus membuka jalan bagi kembalinya sanksi AS, yang datang dalam dua fase pada Agustus dan November.
Sanksi jilid pertama menargetkan penerbangan Iran serta perdagangan emas dan mata uang. Putaran kedua pada November diarahkan pada ekspor minyak dan industri perbankannya.
Negara lain dan perusahaan non-Amerika mendapat sanksi AS jika berani melakukan bisnis dengan Iran. Namun, AS juga mengeluarkan keringanan ke beberapa negara, yang memungkinkan mengimpor minyak Iran.
Sanksi AS itu menyebabkan berkurangnya investasi asing di Iran dalam beberapa bulan terakhir. Banyak perusahaan yang berhenti beroperasi yang berujung jatuhnya mata uang Iran dan memicu inflasi.
Iran yang masih setia pada kesepakatan nuklir, dan inspektur PBB berulang kali mengatakan Teheran terus mematuhi kewajibannya dalam perjanjian multilateral.
Namun Teheran juga mengisyaratkan akan meninggalkan kesepakatan itu, jika Negeri Para Mullah tidak mendapatkan keuntungan ekonomi darinya.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif memperingatkan penjualan senjata AS di Timur Tengah mengubah kawasan menjadi mudah terbakar.
"Tingkat penjualan senjata oleh Amerika tidak dapat dipercaya dan jauh melampaui kebutuhan regional dan ini menunjukkan kebijakan yang sangat berbahaya diikuti oleh Amerika," kata Zarif, menurut kantor berita ILNA pada Sabtu pagi.