63 Jurnalis Tewas, HRW Tuntut Israel Diadili atas Kejahatan Perang

Jum'at, 08/12/2023 04:10 WIB

JAKARTA - Kelompok hak asasi internasional mengatakan bahwa serangan Israel yang menewaskan seorang jurnalis dan melukai enam lainnya di Lebanon selatan kemungkinan besar merupakan serangan langsung terhadap warga sipil dan harus diselidiki sebagai kejahatan perang.

Investigasi terpisah oleh Human Rights Watch (HRW) dan Amnesty International menetapkan bahwa militer Israel menembakkan peluru artileri ke arah jurnalis di dekat perbatasan pada 13 Oktober, yang tampaknya merupakan serangan yang ditargetkan terhadap warga sipil.

Serangan tersebut menewaskan jurnalis Reuters Issam Abdallah dan melukai enam jurnalis lainnya, termasuk juru kamera Al Jazeera Elie Brakhia dan reporter Carmen Joukhadar.

HRW mengatakan “bukti menunjukkan bahwa militer Israel mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa kelompok orang yang mereka tembak adalah warga sipil”, menjadikan serangan itu sebagai “kejahatan perang”.

“Ini adalah serangan yang melanggar hukum dan tampaknya disengaja terhadap sekelompok jurnalis yang terlihat jelas”, demikian pernyataan HRW.

Kelompok ini juga meminta sekutu Israel – Amerika Serikat, Inggris, Kanada dan Jerman – untuk “menangguhkan bantuan militer dan penjualan senjata ke Israel, mengingat risikonya akan digunakan untuk pelanggaran berat”.

Amnesty, dalam laporannya sendiri, mengatakan serangan militer Israel “kemungkinan merupakan serangan langsung terhadap warga sipil yang harus diselidiki sebagai kejahatan perang”.

Investigasi yang dilakukan kelompok tersebut menunjukkan bahwa para jurnalis tersebut “jauh dari permusuhan yang sedang berlangsung, dapat diidentifikasi dengan jelas sebagai anggota media, dan telah diam selama setidaknya 75 menit sebelum mereka diserang”.

“Tidak ada jurnalis yang boleh menjadi sasaran atau dibunuh hanya karena melakukan pekerjaannya. Israel tidak boleh membunuh dan menyerang jurnalis tanpa mendapat hukuman,” kata Aya Majzoub, wakil direktur regional Amnesty untuk Timur Tengah dan Afrika Utara.

“Jurnalis adalah mata dan telinga di lapangan, mereka memberikan informasi dan bukti yang penting bagi organisasi seperti kami untuk melihat kejahatan apa yang sedang dilakukan,” kata Majzoub kepada Al Jazeera.

“Mungkin saja pihak-pihak yang bertikai tidak ingin jurnalis mendokumentasikan kejahatan mereka,” tambahnya.

Jurnalis yang meliput perang Gaza di lapangan menghadapi bahaya yang tak tertandingi, menurut kelompok hak asasi media, Committee to Protect Journalists (CPJ).

Sejak pecahnya perang Gaza, setidaknya 63 jurnalis telah terbunuh, termasuk 56 warga Palestina, empat warga Israel, dan tiga warga negara Lebanon, menurut kelompok tersebut.

Perang ini juga menjadi “bulan paling mematikan bagi jurnalis” sejak CPJ mulai melacak data pada tahun 1992.

Selama 22 tahun, CPJ telah mendokumentasikan setidaknya 20 pembunuhan jurnalis oleh tentara Israel. Tidak ada seorang pun yang pernah dituntut atau bertanggung jawab atas kematian ini.

Organisasi tersebut mengatakan impunitas dalam kasus-kasus ini telah sangat melemahkan kebebasan pers, sehingga membuat jurnalis rentan terhadap serangan. (*)

 

 

 

TERKINI
Zayn Malik Gugup Gelar Konser Solo Pertama Kali Sejak Keluar dari One Direction Gosip Perceraian dengan Ben Affleck, Jennifer Lopez Semangat Latihan Tari Jelang Konser Karpet Merah Festival Film Cannes 2024, Selena Gomez Tampil Glamor dengan Gaun Monokrom Kejutan Eras Tour Ke-89 di Swedia, Taylor Swift Bawakan Tiga Lagu dari Album `1989`