Sabtu, 20/04/2024 12:03 WIB

Catatan Asro

Cordoba, Granada - Menangislah Seperti Wanita ...

Para peneliti Barat menyebutkan pada masa kekuasan Islam di Andalusia, penganut Katolik dan Yahudi, bebas menjalankan ajaran agamanya, tidak dipaksa masuk Islam.

Penulis cum dewan redaksi jurnas.com, Asro Kamal Rokan di depan Istana Kerajaan Madrid dibangun di atas situs Alcázar (benteng pada masa Muslim) dari abad ke-9. Istana ini dibangun Muhammad I dari Córdoba. (Foto AKR)

Asro Kamal Rokan*

MEZQUITA CATHEDRAL DE CORDOBA — begitu nama yang tercantum di Google Maps maupun buklet wisata. Namun bagi warga Cordoba, Spanyol, bangunan bersejarah ini lebih dikenal dengan nama La Mezquita de Cordoba, yang berarti Masjid Agung Cordoba, meski bangunan ini bukan lagi masjid, melainkan katedral diosese Córdoba.

Mezquita (masjid) ini bagian dari sejarah panjang: kegemilangan peradaban Islam, yang mempengaruhi peradaban Eropa. Kini, bangunan tersebut adalah titik balik masa lalu—peradaban yang melahirkan pemikir-pemikir Islam jeniuero0pas, yang hingga kini menjadi rujukan dunia.

Selama 781 tahun (711-1492 M) Islam berkuasa di Andalusia, yang meliputi Spanyol, Portugal, dan Perancis selatan. Dan, Cordoba merupakan ibu kota Andalusia pada masa pemerintahan dinasti Umayyah.

Salah satu monumen kejayaan Islam adalah Masjid Cordoba, yang luasnya sekitar 23.400 meter persegi, dirancang untuk menampung lebih dari 9.000 jamaah sholat. Dalam buklet The Cathederal of Cordoba, disebutkan bahwa mezquita ini dibangun di atas gereja San Vicente pada tahun 785. Versi lain menyebutkan, masjid ini dibangun di atas situs Visigothic, kuil Romawi.

Khalifah Abdurrahman I dari Dinasti Umayyah — yang berkuasa di Spanyol — membeli belahan milik Kristen pada tahun 787, kemudian membangun masjid besar, yang diteruskan khalifah Abdurahman II, Al-Hakam II, dan Al-Mansur (987).

Masjid ini berubah menjadi katederal setelah kekuasaan Islam runtuh, 1492. Ketika itu, umat Islam harus memilih, mempertahankan iman atau mati. Darah tergenang di masjid besar dan luas ini.

Dilarang Sholat

Selesai menghadiri pertemuan kantor berita se-dunia di Madrid, akhir Januari 2010, saya dan Ahmad Mukhlis Yusuf meninggalkan Wisma KBRI menuju Alhambra di Granda. Sebelum ke Granada dan menginap di sana, kami lebih dahulu berkunjung ke Cordoba. Jalan tidak begitu ramai dan menyenangkan menyaksikan pohon-pohon zaitun di kiri kanan jalan yang berkelok dan mendaki.

Bagian dalam Istana Alhambra (Foto: Alhambradegranada)

-----------

Kami tiba di Cordoba, kota yang sejak lama ingin saya kunjungi, selain Granada, Toledo, Zaragoza, dan Saville. Dari tempat parkir, kami berjalan menuju mezquita (masjid dalam bahasa Spanyol). Bangunan ini berdinding tinggi.

Di luar tembok, berdiri sejumlah restoran, kedai-kedai souvenir yang menjual baju-baju kaos, piring-piring hiasan dengan kaligrafi Allah dan Muhammad, dan rumah-rumah penduduk.

Masuk melalui pintu gerbang, terbentang taman besar, bernama Patio de Los Naranjos. Di taman ini tumbuh pohon-pohon jeruk, yang ketika kami kunjungi sedang berbuah. Di bagian lain, terdapat kolam-kolam buatan, yang dahulu digunakan untuk mengambil air wudhu.

Menjelang masuk ruang utama ke mezquita, petugas menanyakan agama kami dan meminta untuk tidak shalat di dalam.

Di dalam, terbentanglah interior mezquita yang menakjubkan. Pilar-pilar, yang konon berjumlah lebih seribu, berjejer dengan arsitektur yang indah. Ini mengingatkan pilar-pilar di Masjid Nabawi di Madinah. Interior ini mengikuti tradisi masjid-masjid masa Umayyah dan Abbasiyah.

Ada berbagai kaligrafi ayat-ayat Al-Quran, juga mihrab sangat indah, sayangnya dipagar besi. Cahaya juga redup. Mihrab ini menghadap Ka’bah, kiblat umat Islam.

Terus menyusuri bagian lain mezquita, bangunan tambahan yang bernama El Santo, yang dibuat semasa Ferdinand III, setelah masjid berubah menjadi katederal. Juga patung Maria.

Selesai menyusuri bagian dalam, saya berdiri lama di luar mezquita, di taman Los Naranjos yang teduh. Kolam-kolamnya tidak lagi berair. Tidak ada lagi orang-orang mengambil wudhlu dan butir-butir air di wajah dan tangan yang basah. Saya berdiri lama, membayangkan masa lalu bangunan ini, yang tidak pernah saya jumpai.

Andalusia

Kekuasaan Islam di Andalusia, dimulai sejak pertempuran Guadalete pada tahun 711. Pasukan Umayyah yang dipimpin Thariq bin Ziyad, menundukkan pasukan Visigoth yang menguasai Semenanjung Iberia (Spanyol dan Portugal).

Sejarah mencatat, begitu pasukan mendarat di Spanyol dari Afrika Utara, Thariq membakar semua kapal perang yang membawa mereka. Dalam pidatonya, Thariq menyatakan, ”Musuh di depanmu, lautan di belakangmu. Silakan pilih mana yang kau kehendaki..”

Dari sini, Thariq terus melebarkan kekuasaan dengan menaklukan kota-kota penting, di antaranya Cordova, Granda, Sevilla, dan Toledo. Pasukan Thariq juga manguasai Narbonne, Prancis selatan, Avirignon, Lyon, sampai ke Rhoders, Cyprus, dan sebagian Sicilia, Italia, termasuk Sardinia. Nama Thariq diabdikan menjadi selat Giblatar.

Para peneliti Barat menyebutkan pada masa kekuasan Islam di Andalusia, penganut Katolik dan Yahudi, bebas menjalankan ajaran agamanya, tidak dipaksa masuk Islam. Mereka diperlakukan jauh lebih baik daripada di Eropa Barat. Di Andalusia, rakyat hidup dalam masa keamasan toleransi, saling menghormati antarumat beragama.

Menurut peneliti Montgomery Watt (1992), perkenalan Islam di Spanyol bukan dengan kekerasan, melainkan damai dan toleran. Watt meluruskan persepsi kalangan orientasi yang menyebutkan Islam menakutkan, kejam, dan intoleran.

Kegemilangan Islam di Cordoba, menurutnya, karena tidak ada sekat pembatas antara ilmu pengetahuan, etika, dan ajaran agama .

Masa Gemilang

Cordoba adalah ibu kota Andalusia, yang dibangun pada masa Abdurahman I (755 M). Keturunan Bani Umayyah ini membangun Masjid Agung Cordoba yang indah dan megah, pengairan, arsitektur bermutu tinggi, dan sekolah-sekolah. Inilah awal munculnya peradaban baru, pusat ilmu pengetahuan yang sangat gemilang.

Peneliti Barat, antara lain Karen Armstrong, Marshal Hodgson, selain Montgomery Watt, menyebutkan Cardoba sebagai catatan sejarah The Golden Civilization — peradaban emas, kiblat pemikiran, filsafat, seni, keilmuan, teknologi, dan kebudayaan. Dunia Barat berutang pada Islam.

Masa pemerintahan Abdurahman II, Abdurahman III, Al-Hakam II, dan Al-Mansur, Cordoba menjadi kota utama di Eropa, di saat kota-kota di lainnya masih belum diterangi lampu dan jalan-jalan becek. Kota berpopulasi 500 ribu orang saat itu, mengalahkan Konstantinopel sebagai kota terbesar Eropa dalam hal jumlah maupun kemakmuran.

Perpustakaan Cordoba dikunjungi ratusan ribu orang dari berbagai negara Eropa. Lebih dari 70 perpustakaan dibangun di masjid-masjid dan terbuka untuk umum. Manuskrip-manuskrip Yunani kuno, karya-karya Aristoteles, diterjemahkan peneliti-peneliti Arab. Sains, fisika, matematika, astronomi, kimia, zoologi, geologi, botani, dan ilmu-ilmu pengobatan bermula dari sini. Mahasiswa-mahasiswa Eropa Barat belajar di sini.

Beberapa karya besar antara lain tentang filsafat sejarah, kedokteran, astronom, fisikawan, lahir dari para ilmuwan Islam. Satu di antaranya, yang sangat fenomenal adalah Ibnu Rusyd — Barat menyebutnya Averroes. Lahir di Cordoba, 1126-1198, Ibnu Rusyd adalah ahli hukum, ilmu hisab (arithmatic), kedokteran, dan ahli filsafat terbesar dalam sejarah Islam.

Karya besar Ibnu Rusyd adalah Kuliyah fith-Thibb (Encyclopaedia of Medicine). Kitab 16 jilid ini pada 1255 diterjemahkan dalam bahasa Latin, kemudian Inggris, dan lainnya.

Dalam bahasa Inggris, judul bukunya “General Rules of Medicine” yang merupakan buku wajib di universitas-universitas di Eropa. Ibnu Rusyd juga menterjemahan buku-buku karya Aristoteles dan Plato, sehingga dunia dapat menikmati pemikiran Aristoteles dan Plato.

Pemikiran Ibnu Rusyd sangat berpengaruh di Eropa. Pengaruh ini memunculkan Averroisme — yang menuntut kebebasan berpikir dan menentang pemikiran dogmatis. Averroisme ini disebarkan mahasiswa-mahasiwa Kristen Eropa yang belajar di berbagai Universitas Islam Cordoba, Sevilla, Malaga, dan Granada.

Sekembali dari Cordoba, para mahasiswa itu mendirikan universitas-universitas, di antaranya Universitas Paris tahun 1231. Averoism-lah yang mendorong terjadinya gerakan Renaissance di Eropa pada abad ke-14. Inilah yang disebut peneliti Karen Amstrong, Barat berutang pada Islam.

Renaissance menjadikan Eropa bangkit dan menguasai dunia. Sedangkan di Andalusia kemunduran terjadi. Memasuki periode 1086-1248 M, penguasa-penguasa Islam mulai lemah. Negara pecah menjadi 30 bagian. Konflik internal mendera mereka. Kekuasaan Islam di Sevilla, Toledo, dan Cordoba jatuh.

Granada benteng terakhir. Konflik dan pengkhianatan, menghancurkan Granada, yang akhirnya takluk pada Raja Ferdinand dari Aragon dan Ratu Isabella dari Castile, November 1491. Berakhirlah kekuasaan Islam selama 780 tahun.

Kami meninggalkan Cordona menuju Granada. Di sepanjang perjalanan, pikiran melayang ke masa dahulu yang jauh dan tidak terbayangkan — kecuali kebanggan dan ironi. Puncak Gunung Siera Nevada, yang ditutupi salju, mulai hilang tenggelam dalam selimut malam. Waktu Magrib telah masuk. Kami tidak menemukan  masjid di sini.

Granada kota terakhir kekuasaan Islam di Andalusia. Jose memacu mobil dengan kecepatan sedang. Jarak dari Cordoba ke Granada sekitar 207 kilometer, sekitar dua jam perjalanan. Sore mulai merayap. Salju di puncak Siera Nevada mulai kemerahan ditimpa sinar matahari sore akhir Januari 2010. Granada berada di kaki gunung Siera Nevada, berbukit-bukit, sekitar satu jam dari pantai Mediterania.

Kami  tiba di Hotel Casa del Pilar, Granada, tidak jauh dari Alhambra. Waktu Maghrib sudah masuk. Tidak terdengar azan dan tidak ada masjid, seperti enam abad lalu saat Islam berkuasa. Malam merayap. Besok pagi, kami ke Alhambra, istana dan sekaligus benteng terakhir.

Alhambra yang Megah

Setelah sarapan, kami diantar Jose ke Alhambra. Dari hotel, yang berjarak sekitar 300 meter, bangunan Alhambra sudah terlihat menjulang. Posisinya di atas Bukit La Sabica. Istana yang sekaligus benteng ini didirikan secara bertahap antara 1238 hingga 1358, semasa Sultan Muhammad bin Al-Ahmar, penguasa terakhir Andalusia.

Kompleks istana Alhambra — berasal dari kata Arab yang berarti merah — seluas kira-kira 14 hektare. Komplek ini dikelilingi tembok tinggi dan 13 menara pengintai. Sebelum memasuki istana, terbentang taman luas dengan penphonan dan air mancur.

Pengunjung melewati Istana Generalif yang didirikan Karel V, selanjutnya tiba di gerbang Alhambra. Dari gerbang ini, bangunan pertama terlihat adalah Masjid al-Mulk atau Masjid Sultan.
Istana Alhambra. (Foto GetYourGuide)

-----------

Di dalam istana, banyak sekali ruangan dengan arsitektur indah dan dihiasai kaligrafi, di antaranya ruangan Al-Hukmi (Baitul Hukmi-pengadilan), ruang Bani Siraj, ruangan Hausy ar-Raihan untuk bersiram, kolam Al-Birkah dari marmer putih, dan di sebelah barat ruangan Al-Hukmi, ada lapangan yang diberi nama Hausyus Siba` (Taman Singa).

Dari 12 patung singa itu memancar air mancur. Ada juga Jennat Al-Arif (Garden of the Architect) semacam vila khusus raja. Dari tempat ini raja dapat melihat Albayzin, perkampungan orang-orang Arab.

Akhir Kekuasaan Islam

Masa keemasan Islam di Spanyol selama 781 tahun berakhir tragis. Setelah terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil (taifa), kekuatan Islam semakin lemah. Konflik antra kerajaan kecil terjadi, saling serang, dan sering sekali mereka meminta bantuan tentara Kristen.

Pusat-pusat kekuatan dan kejayaan peradaban Islam, tumbang satu demi satu. Pada 1238 Cordoba jatuh ke tangan Kristen, lalu Seville pada tahun 1248 jatuh.

Granada yang dalam kekuasaan Bani Ahmar (1232-1492), satu-satunya yang bertahan. Namun, konflik internal menjadikan kerajaan Granada ini pecah. Abu Abdillah Muhammad bin al-Ahmar ash-Shaghir yang kecewa pada ayahnya atas penunjukan saudaranya sebagai raja, melakukan pemberontakan. Dia meminta bantuan Raja Ferdinand dari Aragon dan Ratu Isabella dari Castile, yang menguasai Andalusia dengan kekejaman.

Sultan Abu Abdullah Muhammad menang dan naik tahta. Namun, ini tidak bertahan lama. Abu Abdullah Muhammad disingkirkan oleh raja Katholik yang tadi membantunya, Raja Ferdinand dan Ratu Isabella. Abu Abdillah Muhammad menyerah pada 2 Rabi`ul Awal 897 Hijriyah (02 Januari 1492). Dia menyerahkan kunci gerbang kota Granada dan Istana Alhambra.

Berakhirlah Granada sebagai benteng terakhir Islam di Spanyol, berakhirlah kekuasaan Islam selama 781 tahun. Setelah itu, pembunuhan besar-besaran terjadi terhadap kaum Muslim dan Yahudi. Mereka dipaksa meninggalkan agamanya atau mati.

Setelah tersingkir, seperti ditulis David Levering Lewis dalam buku The Greatness of al-Andalus, Sultan Abu Abdillah Muhammad meninggalkan Granada pergi ke Afrika Utara. Dalam perjalanan, sultan yang kalah itu berhenti di sebuah bukit. Di sini dia memandang kembali Granada yang indah. Air matanya menetes.

Ibunya, Aisyah, yang ikut rombongan, berkata pada Abu Abdillah Muhammad: “Menangislah seperti wanita, terhadap apa yang tidak bisa engkau pertahankan selayaknya laki-laki.”

Bukit tempat Abu Abdillah Muhammad menangis itu diberi nama Puerto del Suspiro del Moro — Bukit tangisan orang Arab terakhir.

Setelah berkeliling di istana Alhambra — monumen terahir kejayaan pemerintah Islam selama 781 tahun, yang berakhir tragis, diikuti kekejaman, dan intoleransi— kami meninggalkan Granada, dengan perasaan yang sangat pilu. Puncak Gunung Siera Nevada ditutupi salju. Dingin dan beku.

Di perjalanan pulang menuju Madrid, terngiang kata-kata Aisyah, ibu sultan terakhir Granada: Menangislah terhadap apa yang tidak bisa kau pertahankan.

Dan, pengusiran, penyesalan, keterasingan. Merugi hingga kini ...

KEYWORD :

Asro Kamal Rokan Cordoba Wisata Spanyol




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :