Jum'at, 19/04/2024 23:17 WIB

Potret Pendampingan Pasien Kanker di Tengah Pandemi

Sudah dua minggu Eny belum kunjung mendapatkan pesan balasan dari salah seorang pasien kanker payudara yang ia dampingi di Rumah Sakit Kanker Dharmais (RKSD) Jakarta. Pesan yang dia kirim lewat WhatsApp itu cuma dibaca.

Relawan pendamping pasien kanker payudara, Endang Juniarti atau yang akrab disapa Eny (Foto: Ist)

Jakarta, Jurnas.com - Sudah dua minggu Eny belum kunjung mendapatkan pesan balasan dari salah seorang pasien kanker payudara yang ia dampingi di Rumah Sakit Kanker Dharmais (RKSD) Jakarta. Pesan yang dia kirim lewat WhatsApp itu cuma dibaca. Tidak lebih.

Satu bulan kemudian, Eny kembali mengirimkan pesan yang sama. Sebagai seorang relawan pendamping kanker payudara, perempuan 43 tahun itu masih berusaha memastikan sang pasien tetap baik-baik saja di tengah pandemi Covid-19.

Namun nasib berkata lain. Perempuan 60 tahunan yang Eny dampingi telah tutup usia, empat hari sebelum dia mengirimkan pesan terakhir, setelah menderita kanker payudara stadium empat.

"Yang menjawab anaknya, dia bilang ibunya sudah meninggal. Meninggal hanya 3-4 hari sebelum lebaran itu," tutur Eny kepada Jurnas.com pada Kamis (13/8).

Kisah ini merupakan satu dari sekian banyak potret pendampingan pasien kanker yang dilakukan semasa pandemi Covid-19. Para relawan pendamping, kata Eny, tidak bisa berbuat banyak kecuali tetap berkomunikasi dengan pasiennya melalui ponsel.

Terutama setelah rumah sakit memberlakukan sejumlah pembatasan guna menekan penularan Covid-19, Eny dan para relawan pendamping pasien kanker lain yang umumnya melakukan pendampingan secara langsung di rumah sakit, hanya bisa melakukan pendampingan secara daring.

"Kalau ketemu langsung kan kita bisa tahu bagaimana respon pasien. Kalau dia menolak bisa pakai pendekatan lain, arahannya dari mana. Kalau lewat WA kita tidak tahu, ini dibaca atau tidak, karena memang kan etikanya tidak boleh memaksa," keluh Eny yang merupakan anggota pilar relawan pendamping pasien kanker payudara dari Yayasan Kanker Payudara Indonesia (YKPI).

Selama pandemi, Eny memberikan sejumlah saran kepada pasiennya. Di antaranya menjaga pola hidup sehat guna meningkatkan imunitas, serta bila memungkinkan tetap menjalankan pengobatan dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.

"Untuk yang sudah selesai pengobatan kemoterapi dan radiasi, jangan lupakan medical check up, ada yang sebulan sekali, tiga bulan sekali, tetap lakukan itu. Meski tidak ada keluhan tetap harus rutin checkup, jangan sampai terlewat," pinta dia.

Eny menjelaskan, secara garis besar relawan pendamping pasien kanker payudara bertugas mendata pasien kanker payudara di RSKD Jakarta. Selanjutnya, masing-masing orang mengambil peran untuk memberikan dorongan moral bahwa kanker tidak perlu ditakuti.

Relawan pendamping pasien kanker, lanjut Eny, juga mengantongi sertifikat pelatihan khusus termasuk pelatihan dari RS Kanker Dharmais. Itulah kenapa Eny dan relawan pendamping pasien lainnya fasih memberikan edukasi kepada keluarga pasien mengenai deteksi dini, dan tata cara memperlakukan pasien kanker di rumah, salah satunya dengan menjaga asupan gizi seimbang.

"Atau kadang saat pasien tidak bisa menyampaikan keluhannya kepada dokter atau perawat, itulah tugas kita masuk. Karena kadang kalau dengan sesama penderita lebih bisa bercerita secara terbuka," sebut Eny.

Eny sendiri merupakan seorang survivor kanker payudara. Pada Oktober 2014 silam, kala itu usianya masih 38 tahun, dokter onkologi di salah satu rumah sakit di Bintaro, Jakarta Selatan memvonisnya kanker payudara stadium 2B setelah muncul benjolan besar di payudara kanannya.

Beruntung, waktu itu kondisi payudara Eny masih cukup bagus meski kanker sudah menyebar ke kelenjar getah bening. Sehingga payudara Eny tidak diangkat seluruhnya di meja operasi.

Menjalani proses pengobatan pasca operasi beratnya bukan main, kata Eny. Dia merasa uring-uringan hingga tidak merasa nafsu makan. Namun anak semata wayangnya menjadi penyemangatnya waktu itu.

"Yang jadi motivasi saya, anak saya yang masih SD, masih lucu-lucunya. Itu penyemangat saya. Dia senang sekali ketika harus ikut saya ke rumah sakit. Jadi memang di situ saya punya trigger harus kuat, harus kalahkan kanker saya," kenang Eny.

Hingga kini, Eny masih terus melakukan medical check up ke rumah sakit setiap enam bulan sekali. Dan akibat pandemi, kegiatan rutin itu sempat tertunda karena adanya pembatasan pasien di RS Kanker Dharmais.

Setelah mengikuti beberapa kegiatan webinar kanker payudara yang diselenggarakan YKPI bahkan berkesempatan memandu webinar sebagai moderator, Eny sadar, pandemi tak dapat mencegahnya untuk berobat selamat mematuhi protokol kesehatan.

"Saya harap, penyintas kanker seperti saya tetap semangat berobat meski covid-19 belum saja berakhir. Selama kita mematuhi protokol kesehatan, pandemi bukan alasan menunda pengobatan. Semangat," harap Eny.

KEYWORD :

Relawan Pendamping Kanker Payudara YKPI




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :