Kamis, 09/05/2024 13:33 WIB

Butuh Political Will yang Kuat untuk Atasi Kendala dalam Pengobatan Kanker Payudara

Butuh Political Will yang Kuat untuk Atasi Kendala dalam Pengobatan Kanker Payudara

Wakil Ketua MPR, Lestari Moerdijat. (Foto: Humas MPR)

Jakarta, Jurnas.com - Kebijakan kesehatan nasional belum mampu menjawab permasalahan yang dihadapi para penderita kanker payudara di Indonesia. Sejumlah upaya harus segera dilakukan untuk mengatasi permasalahan itu.

"Berbagai upaya sosialisasi sudah cukup gencar dilakukan, tetapi ternyata kendala yang dihadapi penderita kanker payudara untuk mengakses layanan kesehatan masih saja terjadi," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Pekerjaan Rumah dalam Memperingati Bulan Kesadaran Kanker Payudara yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (25/10).

Menurut Lestari, kendala yang masih dihadapi para penderita kanker payudara antara lain sulitnya mengakses pengobatan yang standar mau pun lanjutan.

Demikian juga, tambah Lestari yang juga penyintas kanker payudara itu, pengobatan paleatif dan ketersediaan obat untuk kanker HER 2 positif yang belum banyak tersedia, sehingga penderita harus terus berjuang untuk mendapatkan terapi yang tepat.

Rerie, sapaan akrab Lestari berpendapat, pekerjaan rumah dalam meningkatkan pelayanan pada penderita kanker payudara masih banyak, sementara kasus kanker payudara terus bertambah.

Rerie, yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu mendorong agar masa tunggu pasien saat terdiagnosa kanker hingga mendapat tindakan, semakin pendek.

Rerie menilai perlu political will yang kuat dari para pemangku kebijakan untuk mengatasi sejumlah kekurangan pada pelayanan kesehatan, dalam upaya menekan angka penderita kanker payudara di tanah air.

Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan, Lily Kresnowati mengungkapkan per September 2023 jumlah keanggotaan BPJS Kesehatan tercatat 262 juta orang atau 94,64% jumlah penduduk.

Cakupan kepesertaan itu, ujar Lily, tersebar di 27 provinsi dan 371 kabupaten/kota. Diakui dia, total pemanfaatan BPJS kesehatan meningkat dari tahun ke tahun.

Menurut Lily, proporsi biaya penyakit berdampak katastropik seperti kanker payudara pada 2022 meningkat berkisar 21,5%-28, 4% dari total pelayanan kesehatan rujukan.

Diakui Lily, BPJS Kesehatan juga bisa dimanfaatkan untuk skrining kanker, seperti kanker serviks dan kanker payudara yang bisa dilakukan satu tahun sekali.

Lily mengungkapkan, berdasarkan Perpres No 82 Tahun 2018, proses pelayanan kesehatan yang dibiayai BPJS Kesehatan dilakukan secara bertahap sesuai kebutuhan medis dan kompetensi fasilitas kesehatan dimulai dari fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) terdaftar, kecuali
dalam keadaan kegawatdaruratan medis.

Selain itu, tambah Lily, PerMenkes No 54 Tahun 2018 juga mengatur pemberian obat kanker dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat 3 atau fasilitas kesehatan tingkat 2 yang memiliki kapasitas untuk memberikan pelayanan kemoterapi, seperti memiliki tim onkologi, perawat onkologi, dan apoteker yang telah dilatih khusus untuk memberikan kemoterapi.

Lebih dari itu, ujar dia, fasilitas kesehatan itu juga harus memiliki prosedur yang teratur untuk penyimpanan, pengelolaan, peracikan, pemberian dan pengelolaan limbah kemoterapi serta memiliki ruang isolasi untuk pemberian kemoterapi agresif.

 

Ketua Tim Kerja Pengendalian Kanker Direktorat Jenderal P2P Kementerian Kesehatan RI, Theresia Sandara mengungkapkan, pemerintah mencatat kasus baru kanker payudara di Indonesia tercatat 2,2 juta per tahun.

Sementara, tambah Theresia, tingkat kematian akibat kanker payudara di dunia rata-rata tercatat 46 kasus per 100.000 penduduk dan di Indonesia rata-rata tercatat 44 kasus per 100.000 penduduk.

Berdasarkan catatan itu, Theresia berpendapat, kanker payudara masih jadi persoalan di Indonesia, karena 70% teridentifikasi pada stadium lanjut. Padahal, tegas dia, bila ditemukan pada stadium awal kanker payudara dapat diatasi dengan baik.

Selain itu, ungkap Theresia, cakupan skrining terkait kanker payudara terbilang rendah yaitu 10,75% dari populasi perempuan.

Kondisi itu diperparah dengan waktu tunggu sejak didiagnosa terkena kanker sampai mendapatkan tindakan definitif relatif lama yaitu 9-15 hari.

Menurut Theresia upaya promosi kesehatan dan edukasi sangat penting agar masyarakat mau melakukan deteksi dini kanker payudara.

Keterlibatan tokoh masyarakat, tokoh agama dan pelibatan organisasi kemasyarakatan serta pihak swasta dalam proses sosialisasi dan edukasi, tegas dia, sangat penting untuk memperluas upaya deteksi dini kanker payudara.

Karena, jelas Theresia, dibutuhkan kesadaran masyarakat untuk melakukan tahapan deteksi dini dimulai dari periksa payudara sendiri (SADARI), pemeriksaan payudara secara klinis (SADANIS), pemeriksaan USG hingga pemeriksaan mamografi.

 

Menanggapi hal tersebut Anggota Komisi IX DPR RI, Ratu Ngadu Bonu Wulla berpendapat semua pihak harus mampu bekerjasama untuk memasyarakatkan deteksi dini kanker payudara melalui SADARI, SADANIS, pemeriksaan USG dan mamografi.

Ratu Ngadu juga berharap untuk daerah-daerah yang kesulitan mengakses layanan deteksi dini dapat diupaya untuk bekerjasama dengan BPJS Kesehatan dan Dinas Kesehatan setempat agar tidak ada lagi daerah yang tidak terlayani.

KEYWORD :

Kinerja MPR Lestari Moerdijat Kanker Payudara BPJS Kesehatan Deteksi Dini




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :