Sabtu, 20/04/2024 06:36 WIB

Globalisasi Hanya Menghasilkan "Gembelisasi"

Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Hendrawan Supratikno menilai globalisasi yang berlangsung di era sekarang memiliki efek samping.

Anggota Komisi XI DPR RI, Hendrawan Supratikno saat menjadi narasumber dalam diskusi serta bedah buku Ekonomi Politik Gula, Kedaulatan Pangan di Tengah Liberalisasi Perdagangan karya mantan Rektor Unas, Umar Basalim

Jakarta, Jurnas.com - Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Hendrawan Supratikno menilai globalisasi yang berlangsung di era sekarang memiliki efek samping. Seperti dampak negatif yang juga berlangsung di Indonesia, dan bahkan proses globalisasi ini hanya menghasilkan marjinalisasi.

"Kalau istilah yang sering saya bilang gembelisasi," sebut Hendrawan saat menjadi narasumber dalam diskusi serta bedah buku ‘Ekonomi Politik Gula, Kedaulatan Pangan di Tengah Liberalisasi Perdagangan’ karya mantan Rektor Unas, Umar Basalim di Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta, Selasa (10/12).

Globalisasi ini, menurut Hendrawan sedikit-banyak juga merugikan perekonomian Indonesia. Termasuk menyasar industri gula nasional, hingga menyebabkan produsen lokal tak mampu bersaing dengan gula impor.

"Dulu Fahri Hamzah anggota DPR dari PKS, sekarang dari Gelora, minta lima pabrik gula milik pemerintah ditutup. Daripada rakyat harus membayar inefisiensi," ungkap profesor bidang ekonomi ini.

Selain berlakunya satu harga, globalisasi juga disebut merusak sendi-sendi kehidupan lain. Tak terkecuali politik. Saat ini, kata dia kesempatan terjun di politik khususnya menjadi wakil rakyat, hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki modal mencukupi secara materil.

"Jadi masyarakat yang menang terus-terusan menang. Yang kalah ya akan terus kalah. Saya dulu minta liberalisasi perdagangan harus seizin DPR. Karena itu dampaknya luar biasa. Tapi Marie Pangestu (Menteri Perdagangan saat itu) justru mengatakan harus mempercepat liberalisasi perdagangan, perekonomian, globalisasi," imbuhnya.

Sementara menurut Umar Basalim, terdapat pergeseran luar biasa dalam industri gula nasional akibat globalisasi atau liberalisasi, seperti perubahan status produk pangan yang tadinya produk publik menjadi privat.

Bahkan, melalui regulasi World Trade Organization (WTO)/AoA yang telah diratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 1994, membuat Indonesia yang tadinya negara berkembang eksportir gula, kini bergeser menjadi importir bahan pangan tersebut. Peran negara juga kian menipis.

"Awalnya dominan peran negara. Sekarang jadi peran swasta yang dominan. Walau masih ada sedikit peran mengatur atau intervensi negara dalam persoalan pangan," ujarnya.

Masih menurut Umar Basalim, Indonesia saat ini juga menjadi negara importir gula terbesar di dunia. Mengingat Uni Eropa yang merupakan pengimpor gula nomor satu, terdiri dari beberapa negara. Padahal dulu bersama Brazil, kata dia Indonesia menjadi eksportir gula.

"Di Indonesia sendiri, impor gula meningkat seiring berlangsungnya pemilu atau pilkada. Meski begitu, bukan tak ada upaya dalam melawan liberalisasi produk pertanian atas nama ketahanan pangan atau food security itu. Ada namanya food sovereignty atau kedaulatan pangan. Istilah atau konsep ini muncul disponsori oleh petani Spanyol," tandasnya.

KEYWORD :

Warta DPR Komisi XI DPR




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :