Kamis, 25/04/2024 06:56 WIB

Anggap Perusahaan Caplok Tanah Warisan, Warga Mengadu ke Presiden

Dari Istana Kepresidenan, mereka juga mendatangi Dewan Pengurus Nasional Relawan Perjungan Demokrasi (DPN Repdem).

Konferensi pers warga Pandeglang di kantor DPN Repdem

Jakarta - Sejumlah ahli waris mengadu Presiden Joko Widodo untuk mengadukan nasib hak mereka atas tanah yang dikuasai tiga perusahaan besar, antara lain Lippo Group, PT Wira dan PT Matahari. Tanah dengan luasan ribuan hektare yang diakui sebagai milik seseorang bernama Dulgani itu telah dibangun menjadi hotel, restoran, resort maupun kondomium.

Keluh kesah ini disampaikan langsung melalui Kantor Staf Kepresidenan (KSP) dan pemerintah berjanji untuk memediasi kasus tersebut. Dari Istana Kepresidenan, mereka juga mendatangi Dewan Pengurus Nasional Relawan Perjungan Demokrasi (DPN Repdem), yang juga organisasi sayap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Kedatangan warga ini disambut langsung oleh Ketua Bidang Hukum dan Advokasi Warga DPN Repdem, Fajri Syafei. Di hadapan mereka, Fajri ini berjanji akan memberikan advokasi kepada warga. “Sudah lama berjuang, sudah puluhan tahun, melakukan perebutan kembali haknya. Itu yang dilakukan. Tapi semua masih kosong, belum ada hasil apapun, berjuang tiada henti,” kata Fajri dalam konferensi pers yang berlangsung di DPN Repdem, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Selasa (28/2).

Sementara itu, Mad Saeni (63) Warga Cilegon, Banten, mengungkapkan tanah yang kini dikusai tiga perusahaan besar itu dimiliki oleh seorang bernama Sarman yang kemudian diwariskan kepada Dulgani. Dulgani ini memiliki tujuh orang anak, yang mantinya tanah tersebut akan dibagikan ketika meninggal dunia.

Namun karena luas tanah tersebut mencapai ratusan hektare, maka penggarapannya dibagikan oleh beberapa orang. Orang yang diduga mengalihkan hak atas tanah itu sendiri dengan membuat sertifikat dengan data abal-abal itu dilakukan oleh salah seorang kepecayaan Dulgani.

Tanah itupun akhirnya dijual dengan harga Rp 40 dengan nama yang bukan merupakan ahli waris. Bahkan, orang yang menjualnya mencatut nama Dulgani sebagai ayahnya, yang kemudian setelah ditelusuri ternyata tidak berhubungan sama sekali.

“Kalau denger tanah agraria sebelum dimodalin, baru yang ada surat, keluarkan girik ada 438 ha yang ada surat asli, selainnya kata agraria masih banyak, dulunya Sarmin kuasai lahan. Madrais bukan anak Dulgani, Madrais anak Haji Nur. Nah ketika orangnya sudah pada meninggal, namanya jadi Madrais bin Dulgani,” ungkap Saeni.

Dengan kedatangannya ke DPN Repdem ini, Saeni hanya berharap tanah yang telah beralih kepemilikan itu bisa dibayarkan sesuai hak ahli waris. Mereka tidak lagi ingin mengambil kembali haknya karena sudah lelah berjuang namun tak pernah ditanggapi oleh pemerintahan sebelumnya.

“Sekarang saya minta bantuan, saya rakyat kecil agar tanahnya dibayarkan oleh oknum-oknum pengusaha. Supaya dibayar lah,” tandasnya.

KEYWORD :

sengketa tanah repdem




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :