Sabtu, 20/04/2024 14:23 WIB

Luruskan Regulasi BRIN, Pakar: Advokasi dan Dua Upaya Hukum

Ada perbedaan arah pembentukan BRIN yang diamanatkan UU Sisnas Iptek dengan Perpres 33/2021

Webinar Alinea Forum membahas sengkarut BRIN

Jakarta, Jurnas.com - Peraturan Presiden Nomor 33/2021 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dinilai bertentangan dengan sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor 11/2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek).

Perpres itu memberikan mandat kepada BRIN untuk meleburkan empat lembaga pemerintah nonkementerian bidang iptek, yakni LIPI, BPPT, BATAN, dan LAPAN.

Padahal, Pasal 48 UU Sisnas Iptek mengamanatkan BRIN untuk mengintegrasikan lembaga penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan (litbangjirap), bukan sebagai pelaksana.

Adanya perbedaan arah pembentukan BRIN yang diamanatkan UU Sisnas Iptek dengan Perpres 33/2021 itu diakui Ketua Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia Teguh Kurniawan.

Menurut Teguh, BRIN dibentuk untuk mengintegrasikan penelitian, pengembangan, pengkajian, penerapan, invensi, dan inovasi. Artinya, BRIN berperan sebagai koordinator, bukan pelaksana.

"Ironisnya, Perpres 33/2021 justru membuat BRIN menjadi lembaga birokrasi yang bahkan memiliki kaki dan tangan hingga di daerah dalam bentuk Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA)," tegas Teguh Kurniawan dalam Alinea Forum bertopik "Langkah Hukum `Meluruskan` Regulasi BRIN", Senin (9/8).

Teguh menilai, keberadaan BRIDA hanya akan menambah runyam masalah. Sebab, UU 11/2019 mengamanatkan BRIN untuk mengintegrasikan litbangjirap dan inovasi yang terkotak kotak dalam sektor. Bukan malah berperan sebagai birokrasi pelaksana litbangjirap sebagaimana tertuang dalam Perpres 33/2021.

Selain itu, jelas Teguh, BRIN sebagai pembuat kebijakan semestinya dipisahkan dari peran pelaksana untuk menghindari konflik kepentingan. “Karena BRIN sebagai pembuat kebijakan juga pelaksana,” tukas Teguh. 

Sementara Ketua Umum Himpunan Perekayasa Indonesia (Himpermindo) I Nyoman Jujur berharap regulasi yang lebih rendah dapat selaras dengan aturan yang lebih tinggi.

Ia juga berharap sinergi lembaga iptek jangan sampai menghilangkan DNA dan cara berfikir masing-masing lembaga.

“Kami sudah menghadap ke Kepala BRIN untuk mendapat masukan. Kami juga melakukan webinar mengundang Pereyasa Kehormatan yang juga Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono, untuk dapat masukan. Kami akan lakukan audiensi dengan pihak-pihak terkait,” ujar Nyoman saat ditanya upaya Himpermindo terkait peleburan ke dalam BRIN.

Sikap tegas disuarakan oleh anggota Komisi VII DPR yang juga mantan Wakil Ketua Pansus RUU Sisnas Iptek Andi Yuliani Paris. Politikus Partai Amanat Nasional itu meminta pemerintah merevisi Perpres 33/2021 tentang BRIN. Ia menilai, Perpres itu sebagai kemunduran terhadap iptek dan inovasi nasional.

Dia juga mendorong agar pihak-pihak yang dirugikan untuk melakukan upaya hukum melalui Mahkamah Agung agar Perpres 33/2021 dibatalkan.

"Kami di fraksi (PAN) enggak bisa melakukan apa-apa. Karena jumlah kursi kami yang kecil, hanya bisa mengingatkan ke pemerintah maupun Kepala BRIN,” ujar Andi.

Terkait dengan upaya hukum yang bisa ditempuh, dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Bivitri Susanti mengatakan, ada dua upaya hukum yang bisa dilakukan untuk meluruskan regulasi BRIN.

Sebelum menempuh upaya hukum, terbuka jalur advokasi kebijakan. Jalan ini ditempuh agar ada perubahan perpres dengan konsultasi publik yang luas dan memadai.

“Advokasi kebijakan ke DPR supaya mendorong (perubahan Perpres BRIN). Kan (DPR) bisa memanggil eksekutif. Bagaimana nih kok bisa perpres-nya seperti ini? Kalau ada kekuatan politik, seharusnya ada penekanan aktor untuk memaksa BRIN dan pihak lain untuk memaksa perubahan perpres,” ujar Bivitri.

Ihwal upaya hukum, ada dua jalan, yakni melalui uji materi ke Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Upaya hukum melalui uji materi ke MA selain dapat menyoal makna sebenarnya dari penjelasan Pasal 48 UU 11/2019. Juga bisa menyasar Perpres 33/2021 dengan mempersoalkan kesesuaian materinya dengan UU 11/2019 sebagai UU yang mendelegasikannya.

"Sementara, upaya hukum melalui uji materi ke MK dapat menyoal Pasal 48 UU 11/2019 terhadap konstitusi," jelasnya.

Menurut Bivitri, uji materi ke MK tentu saja lebih banyak tantangannya untuk dapat mempertanyakan, memohon, dan mengujinya.

"Meski tidak mustahil, tetapi upaya hukum ini bakal terhambat jangka waktu dan kondisi di MK saat ini yang sedang sulit untuk kita prediksi. Kalau ke MA, dampaknya bisa langsung ke perpres. Bisa ada perubahan. Kelemahannya adalah proses yang tertutup,” papar Bivitri.

Bivitri menyarankan, sebelum menempuh upaya hukum sebaiknya dioptimalkan langkah advokasi kebijakan. Para pihak yang berkepentingan diminta merapatkan barisan untuk menyusun position paper yang berisi penjelasan mengapa Perpres 33/2021 harus diubah atau dibatalkan. Position paper inilah yang kemudian dikomunikasikan dengan para aktor pembuat kebijakan.

Jika semua pintu sudah diketuk dan hasilnya tidak memuaskan, kata Bivitri, para pihak bisa mempertimbangkan menempuh langkah hukum.

"Karena langkah hukum itu hasilnya pasti dan ketika sudah diputuskan tidak ada alternatif lagi yang terbuka," jelas Bivitri.

KEYWORD :

BRIN UU Sisnas Iptek Perpres 33/2021 Alinea Forum litbangjirap




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :