Kamis, 09/05/2024 07:59 WIB

Hikmah Idul Adha, Empat Tingkatan Manusia Hadapi Ujian Kehidupan

berbagai kesulitan hidup yang kita hadapi hendaknya menyadarkan kita bahwasanya kehidupan di dunia adalah kehidupan yang penuh dengan ujian

Endang Ruhiat saat menjadi khotib dalam perayaan hari raya Idul Adha di Ma`had Al-Qurro, Bandar Lampung, Selasa (20/07).

Jurnas.com - Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kesempatan kepada kita hidup di dunia, bertemu kembali dengan salah satu hari yang paling agung, yaitu Hari Raya Idul Adha.

Berbeda dengan idul adha pada tahun-tahun sebelumnya, tahun ini kita merayakan Idul Adha dalam suasana yang berbeda. Suasana yang penuh dengan ujian dan kesedihan.

Tahun ini kita tidak dapat menyaksikan sebagian saudara-saudara kita berangkat menunaikan ibadah haji. Tahun ini juga kita menyaksikan banyak saudara dan kerabat kita yang wafat mendahului kita, baik itu karena penyakit covid 19 ataupun yang lainnya.

Tahun ini juga banyak saudara kita yang merasakan kesulitan ekonomi, tidak sedikit yang terdampak PHK, alhamdulillah kita masih bisa bekerja dan berkarya di perusahaan kita tercinta ini, berkumpul bersama para santri yang Allah Kasihi.

Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Allâhu Akbar wa Li Allâh al-Hamd

Ikhwatal iman rahimakumullah, berbagai kesulitan hidup yang kita hadapi hendaknya menyadarkan kita bahwasanya kehidupan di dunia adalah kehidupan yang penuh dengan ujian. Allah Ta’ala telah tetapkan dunia sebagai daarul balaa’, negeri ujian. Maka janganlah kita menyerah dengan ujian kehidupan ini.

Allah Ta’ala berfirman, "Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (QS. al Baqarah ayat 155).

Juga firman-Nya "Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (Qs. al Ankaabut ayat 2- 3)

Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Allâhu Akbar wa Li Allâh al-Hamd

Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah di dalam kitabnya, ‘Uddatus Shobirin wa Dzakhiratus Syakirin (Bekal orang-orang sabar dan Perbendaharaan orang-orang yang bersyukur) menjelaskan ada empat tingkatan sikap manusia saat menghadapi ujian dan kesulitan hidup.

Yang pertama adalah, manusia yang lemah, yaitu manusia yang marah dan berkeluh kesah ketika diuji. Kemarahan ini kadangkala diucapkan melalui lisannya, dan kadangkala hanya disimpan dalam hatinya. Sikap seperti ini adalah sikap yang buruk. Karena dikhawatirkan jatuh kepada mencela takdir/ketetapan Allah.

Allah Ta’ala berfirman, “Dan di antara manusia, ada yang menyembah Allah di pinggiran. Jika ia diberi nikmat berupa kebaikan, maka tenanglah hatinya. Namun jika ujian menimpanya, maka berubahlah rona wajahnya, jadilah ia merugi di dunia dan di akhirat.” (QS. Al-Hajj: 11).

Juga firman-Nya, Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: "Tuhanku telah memuliakanku." Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya maka dia berkata: "Tuhanku menghinakanku" (QS. Al Fajr ayat 15 - 16)

Tingkatan yang kedua, adalah manusia yang bersabar saat menghadapi ujian dan kesulitan hidup. Ia tidak mencela takdir, ia menghadapi berbagai macam ujian dengan tabah.

Imam Ibnu Qayyim al Jauziyah berkata dalam kitabnya Madaarijus salikin, Sabar itu memang seperti namanya (sebuah nama tumbuhan), yang rasanya pahit namun hasil dari kesabaran akan lebih manis dari madu.

Allah Ta’ala berfirman, "Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar." (QS. al Baqarah ayat 155).

Tingkatan yang ketiga, adalah manusia yang ridha dengan ujian Allah. Tingkatan ketiga ini lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah.

Ia menyikapi seluruh kesulitan dan kesenangan dengan sikap yang tenang. Tidak bersedih dengan kesulitan dan tidak terlampau senang dengan kemudahan. Ia ridha dengan seluruh ketetapan Allah. Ia yakin bahwa seluruh ketetapan Allah adalah bagian dari keadilan Allah.

Sebagaimana dalam petikan do’a Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam, “Ya Allah, sesungguhnya saya adalah hamba-Mu, putra hamba laki-laki-Mu, putra hamba perempuan-Mu, ubun-ubunku ada di Tangan-Mu, telah berlalu padaku hukum-Mu, adil ketentuan-Mu untukku. (HR. Ahmad no.3712).

Tingkatan yang keempat, adalah manusia yang bersyukur dengan ujian kehidupan. Ia bersyukur dengan musibah yang menimpanya. Syukur ini muncul bisa jadi karena ia menyadari bahwa musibah yang menimpanya lebih ringan daripada musibah yang diderita oleh orang lain.

Atau juga karena ia menyadari bahwa musibah maupun kesulitan hidup sebesar apapun di dunia, jauh lebih ringan dari pada musibah dan kesulitan di akhirat. Ia juga menyadari bahwa ujian kehidupan adalah tanda kasih sayang Allah kepadanya.

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Jika Allah mencintai suatu kaum maka Allah akan menguji mereka” (HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath, 3/302. Dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 285).

Ia pun menyadari, bahwa musibah dan kesulitan hidup adalah penggugur dosa-dosa dan pengangkat derajatnya.

“Tidaklah seorang muslim mengalami kelelahan, sakit, kesedihan, kegundahan, bahkan tusukan duri sekali pun, kecuali Allah akan menghapuskan sebagian dosa-dosanya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Bersyukur di setiap keadaan, bahkan saat menghadapi musibah adalah sikap yang paling baik dan sempurna, sekaligus paling sulit.

Karenanya, Allah Ta’ala berfirman, Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang mampu bersyukur. (Qs. Saba ayat 13).

Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Allâhu Akbar wa Li Allâh al-Hamd.

Ikhwatal iman rahimakumullah. Berdasarkan penelitian para sejarawan, jumlah manusia yang pernah hidup di muka bumi ini adalah 100,8 milyar manusia. Ratusan milyar manusia itu seluruhnya pasti pernah mengalami ujian kehidupan.

Dan kita meyakini, dari ratusan milyar manusia itu yang paling berat ujian kehidupannya adalah para Nabi utusan Allah. Dari 124 ribu Nabi yang pernah Allah utus ke muka bumi, ada lima orang Nabi yang diberi gelar ulul ‘azmi, yang mereka adalah orang-orang yang paling berat ujian kehidupannya. Di antara lima orang tersebut, salah satunya adalah Nabiyullah Ibrahim alayhis salam.

Allah Ta’ala menjelaskan berbagai macam ujian kehidupan yang pernah dialami oleh Nabiyullah Ibrahim dalam firman- Nya
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya.

Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim". (QS. Al Baqarah ayat 124).

Selain diuji dengan kesulitan ekonomi, Nabiyullah Ibrahim juga pernah diuji dengan dimusuhi oleh kaumnya, dibakar hidup-hidup, diusir dari negerinya, diperintahkan meninggalkan anak dan istrinya di lembah tandus tak berpenghuni, diperintahkan membangun kembali Ka’bah dengan tangannya, diperintahkan menyembelih anaknya, Konon, ia mendambakan putra begitu rupa. Menantikan bertahun lamanya. Dan ketika anak yang ditunggunya tiba, Alloh SWT perintahkan agar bayi itu diusir ke tanah gersang, nun jauh dari Babilonia, di lembah tanpa tanaman...Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan keturunanku di lembah yag tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau yang dihormati...bi waadi ghairi dzi zar’in ‘inda baitikal muharram...

Sekian tahun mereka dipisahkan, dan Ibrahim mengunjungi mereka sewaktu-waktu. Kadang bertemu, kadang pun tidak. Lalu ketika keduanya dipertemukan, setelah bertahun memendam kerinduan. Kemudian Alloh SWT perintakan agar Ibrahim menyembelih putra tersayang.

Falamma balagha ma’ahus sa’ya qaala ya bunayya inni araa fil manaami anni adzbahuka...maka tatkala anak itu sampai usia dewasa, berusaha bersama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu...maka bagaimanakah pendapatmu?, Maka kedua hamba Allah yang saleh itu tersungkur dalam kepasrahan.

Yang satu pada ketaatan, yang lain pada kesabaran. Manakah pengorbanan yang lebih berat? Seorang ayah yang melihat anaknya dikorbankan, atau seorang anak yang harus melihat ayahnya kehilangan seorang anak.

Maka Nabiyullah Ibrahim ‘alayhis salam berhasil melewati seluruh ujian kehidupan itu dengan baik. Karena keberhasilannya melewati berbagai ujian itulah maka Allah Ta’ala memberikan kedudukan yang tinggi kepada Nabi Ibrahim. Diberi gelar khalilullah, kekasihnya Allah. Dan dianugerahi kepemimpinan bukan hanya untuk dirinya, namun juga untuk keturunannya.

Sehingga lahirlah dari keturunannya para penguasa dan nabi, yang karena itu beliau ‘alayhis salam diberi gelar Abul Anbiyaa, bapaknya para Nabi.

Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Allâhu Akbar wa Li Allâh al-Hamd

(Ust. Endang Ruhiat, Ma`had Al-Qurro)

KEYWORD :

Idul Adha Ujian Kehidupan Tingkatan Manusia




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :