Selasa, 23/04/2024 13:27 WIB

Pakar Militer: Kontrak Pengadaan Alutsista Prabowo Belum Coming Into Force

Itu baru kontrak awal (preamble contract).

Koppssus TNI Gelar Latihan melawan terorisme bersenjata biologi

Jakarta, Jurnas.com - Pengamat militer, Alman Helvas, menyatakan perjanjian kerja sama (PKS) pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista) oleh Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dan dua produsen asal Italia serta Prancis baru tahap awal, sehingga belum bisa dilaksanakan dalam waktu dekat.

"Itu baru kontrak awal (preamble contract). Jadi, kemudian kontrak itu juga belum berlaku (coming into force), jadi kontrak itu klausulnya belum berlaku sekarang," ucapnya saat dihubungi di Jakarta, Minggu (13/6).

Sekalipun sudah pada tahap coming into force, kerja sama juga belum bisa dieksekusi hingga masuk tahapan tanggal kontrak berlaku efektif (effective date of contract). Pada fase ini, pihak pembeli harus sudah membayar uang muka, produsen kemudian memproduksi alutsista yang dipesan.

"Nah, dari tahap yang sekarang, kontrak sudah ditandatangani tetapi belum berlaku, sampai effective date of contract itu jangkanya masih panjang," jelasnya.

Karenanya, menurut Alman, PKS pengadaan alutsista tersebut tidak perlu diributkan. Apalagi, Kemenhan masih diharuskan membahasnya bersama instansi terkait lainnya.

"Keputusan terakhir bukan di Kemenhan karena untuk keuangannya ada di Kementerian Keuangan. Kan, kontrak kalau enggak ada uangnya juga enggak bisa jalan. Jadi, kuncinya ini ada di Kementerian Keuangan," tuturnya.

"Kalau Kementerian Keuangan setuju anggarannya, kemudian nanti anggaran disiapkan, dan kontrak bisa efektif. Tapi kalau Kementerian Keuangan tidak sejutu dengan anggarannya, ya, kontraknya bisa enggak efektif," sambung dia. Kemenhan pun harus membahas pengadaan ini bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Menurut Alman, praktik bisnis tersebut lazim dilakukan. Bahkan, ada pengadaan alutsista yang dilakukan Kemenhan pada beberapa tahun lalu belum terealisasi sampai sekarang.

"Misalnya waktu menterinya masih yang lama, masih Ryamizard, itu ada kontrak pembelian sukhoi sudah ditandatangani 2019 dan sampai hari ini kontraknya belum berlaku efektif, sudah dua tahun, karena ada ancaman dan sanksi Amerika," terangnya.

"Juga ada kontrak yang dari 2019 juga, kontrak pembelian 3 kapal selam dari Korea Selatan. Ditandatangani 2019 juga dan sampai saat ini belum efektif juga karena ada masalah-masalah teknis. Jadi, penandatanganan kontrak itu bukan berarti kontrak sudah efektif," tutup Alman.

Pernyataan serupa disampaikan pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi. Menurutnya, informasi kontrak yang beredar baru tahap awal.

"Artinya, meski sudah sesuai kebutuhan, masih terlalu dini untuk menganggap bahwa pembelian kapal dan pesawat itu pasti terjadi," ujarnya.

Katanya, kontrak baru terjadi ketika ada kesepatan atau neogisasi menyangkut syarat-syarat yang harus dipenuhi kedua pihak. Misalnya, tentang harga, mekanisme jual-beli, dan besaran uang muka, spesifikasi, skema ofset, dan manfaat tambahan lain yang bisa diperoleh.

"Kesepakatan awal ini baru bisa dikatakan berlaku efektif setelah negosiasi tuntas dan pemerintah membayar uang muka pembelian," tambahnya.

Oleh karena itu, Khairul menyarankan Kemenhan menyampaikan klarifikasi atas klaim yang disebarluaskan produsen dengan tujuan mengunci rencana pembelian. Pemerintah pun diharapkan menambahkan informasi tentang syarat-syarat, spesifikasi, dan skema ofset yang dinegosiasikan.

Dia mendorong demikian untuk memperkuat klaim dan konsistensi pemerintah, bahwa belanja impor alutsista ini bukan saja upaya membangun kapabilitas pertahanan negara yang memiliki efek deteren atau daya tangkal, modern dan profesional.

"Namun juga memperhatikan aspek transfer dan adopsi teknologi, kemandirian industri pertahanan, dan itikad mengubah skema belanja menjadi investasi pertahanan selain soal skenario ancaman, interoperability, kemudahan pemeliharaan, perawatan dan perbaikan, serta kepentingan strategis lainnya," imbuhnya.

Indonesia melalui Kemenhan telah menandatangani PKS dengan Fincantieri, produsen kapal asal Italia untuk pengadaan enam frigat kelas FREMM dan modernisasi dua frigat kelas Maestrale beserta dukungan logistik terkait. Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, juga sudah meneken kontrak kerja sama dengan Dassault Aviation untuk pembelian 36 jet tempur multiperan jenis Rafale.

Dalam kanal YouTube Deddy Corbuzier, Prabowo menerangkan, dirinya mengakui langsung mendatangi produsen alutsista. Tujuannya, mengetahui harga pasti produk yang hendak dibeli dan meminimalisasi korupsi.

Selain itu, dirinya menegaskan, bakal melibatkan instansi terkait untuk mengevaluasi kontrak yang sudah diteken. Kejaksaan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), misalnya.

KEYWORD :

Prabowo Subianto Kemhan alutsista senjata Alman Helvas




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :