Selasa, 23/04/2024 19:19 WIB

MHU Beri Masukan Regulasi Aviasi di UU Ciptaker

Masyarakat Hukum Udara (MHU) pada Kamis (29/4) lalu menggelar webinar bertajuk `Dampak Undang-Undang Cipta Kerja di Dunia Penerbangan Indonesia Tantangan Pasca Pandemi`

Webinar bertajuk Dampak Undang-Undang Cipta Kerja di Dunia Penerbangan Indonesia Tantangan Pasca Pandemi

Jakarta, Jurnas.com - Sebagai sektor yang sangat terdampak dari pandemi Covid-19, sektor penerbangan di Indonesia berharap banyak pada Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker)) dan peraturan pelaksanaanya untuk mendorong kebangkitan dunia penerbangan.

Masyarakat Hukum Udara (MHU) pada Kamis (29/4) lalu menggelar webinar bertajuk `Dampak Undang-Undang Cipta Kerja di Dunia Penerbangan Indonesia Tantangan Pasca Pandemi`, yang bekerja sama dengan Pusat Riset Inovasi Sumber Daya dan Kewilayahan Universitas Padjadjaran.

Ketua MHU Andre Rahadian menyatakan, seminar ini penting sebagai masukan kepada pemerintah.

"MHU menyadari bahwa kerja besar tidak berhenti dengan diundangkannya UU Ciptaker, tapi berlajut dengan pembuatan peraturan pelaksanaan yang banyak dan memerlukan perhatian yang rinci agar peraturan ini bisa berjalan pada tahap pelaksanaan, tidak saling bertentangan dan sesuai juga dengan konvensi internasional yang ada," ungkap Andre dalam pemaparannya.

Lebih lanjut, Andre juga menyoroti banyak masalah yang bisa timbul apabila peraturan pelaksanaan tidak dibuat secara teliti dan menampung aspirasi stakeholder.

Untuk itu, Andre menyampaikan komitmen MHU untuk terlibat aktif dalam proses pembuatan peraturan pelaksanaannya.

"MHU siap untuk membantu pemerintah khususnya Kementrian Perhubungan dalam pembuatan peraturan pelaksanaan, termasuk beberapa peraturan menteri Perhubungan," kata dia.

Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementrian Perhubungan Novie Riyanto menyampaikan, sebagai tindak lanjut dari PP 32/2021, Kementerian Perhubungan akan menetapkan 12 Rancangan Peraturan Menteri Perhubungan  antara lain terkait dengan sertifikasi dan registrasi personel bandar udara, standar pesawat udara tanpa awak (drone), program pendidikan dan pelatihan keamanan penerbangan nasional, dan pengenaan sanksi administratif terhadap pelanggaran peraturan perundangan di bidang penerbangan.

“Sejauh ini kami sudah menyampaikan ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 5 Rancangan Permenhub untuk proses harmonisasi  dan ada  2 Rancangan Permenhub dalam tahap pembahasan internal terkait aturan yang benar-benar baru yaitu RPM standar pembangunan bandara dan 
aturan drone," ujarnya.

Novie menambahkan, khusus pembuatan aturan drone ini merupakan salah satu usaha agar Indonesia berada di posisi terdepan dalam mengatur drone yang beratnya diatas 25 kg, kelaikudaraan, dan sertifikasi operator drone.

“Kami sudah melakukan perbandingan dengan beberapa negara yang juga sudah membuat aturan sejenis,” ungkapnya.

Kepala Pusat Riset Inovasi Sumber Daya dan Kewilayahan Unpad Prita Amalia menyampaikan, salah satu poin temuan  dalam PP 32/2021 terkait aturan penghapusan pendaftaran pesawat  yang merupakan konsekuensi dari terdaftarnya Indonesia dalam Capetown Convention.

“Ada pertentangan antara isi UU Penerbangan yang tidak diubah dalam UU Ciptaker dengan isi PP 32/2021, di mana Undang-Undang mengatur penghapusan pendaftaran pesawat  dilakukan atas dasar permintaan dari pemilik atau lessor ketika terjadi cedera janji, sedangkan aturan pelaksanaan dalam peraturan pelaksanaan mengharuskan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap,” papar Prita.

Senada dengan Prita, Partner dari MKK lawfirm Enny Purnomo Widhya menyebut, inkonsistensi isi aturan ini membuat kebingungan pada level pelaksanaan dan dipertanyakan banyak pihak, termasuk bank-bank asing yang menjadi kreditur dalam pengadaan pesawat bagi maskapai Indonesia.

“Pertentangan UU Penerbangan dan PP 32/2021 ini harus diinterpretasikan berlaku untuk penghapusan pendaftaran yang dilakukan tanpa mekanisme surat kuasa dalam rangka Cape Town Convention karena Undang-Undang sudah menentukan tindakan ini harus bisa dilakukan tanpa putusan pengadilan. Jika tidak diartikan demikian, maka hal ini mungkin terjadi karena `typo error`,” ujarnya.

Sementara itu, sebagai pabrikan pesawat yang juga hadir pada diskusi, Head of Country Airbus Indonesia Dani Adriananta menyampaikan dukungan kepada Indonesia dan juga maskapai Indonesia untuk terus berkembang.

“Airbus sudah hadir di Indonesia sejak tahun 1976 dan saat ini masih  bekerjasama dengan PT Dirgantara Indonesia  untuk pesawat sipil dan militer,” tutur Dani.

Dia mengatakan, Airbus menempatkan Indonesia sebagai pasar penting dari produk Airbus sebagai pasar kedua terbesar di Asia Pasifik dan nomer empat di dunia dalam jumlah penerbangan yang menggunakan produk Airbus.

Di laih pihak, pengamat sektor aviasi yang juga hadir dalam sesi diskusi Alvin Lie mengingatkan hal yang perlu dibahas pasca diundangkannya UU Ciptaker adalah terkait dengan pekerja (sumber daya manusia) utamanya sertifikasi, prosedur, serta validasi untuk sertifikasi yang dikeluarkan di luar negeri.

“Perlu diperhatikan sektor ketenagakerjaan seperti Perjanjian Kerja Waktu Tertentu di mana jika dikaitkan dengan industri penerbangan, masih banyak pilot yang bekerja dengan dasar kontrak waktu tertentu. Padahal, dalam konteks PKWT hanya mencakup pekerjaan yang bukan merupakan pekerjaan utama/inti,” sebut Alvin.

Dia menambahkan, masih terdapat beberapa maskapai yang membebankan biaya type rating kepada pilotnya. Padahal jika dikaitkan dengan peraturan ketenagakerjaan, seharusnya biaya tersebut di cover oleh maskapai.

Menanggapi hal tersebut, Kabag Hukum Perhubungan Udara Endah Purnama memberikan informasi bahwa Kementrian Perhubungan saat ini sedang dalam proses untuk memperbaiki peraturan pelaksanaan yang bertentangan  dengan Undang-Undang.

“Sudah kami proses perbaikan ini,  semalam sudah selesai dan disampaikan kepada Kementrian Hukum dan HAM untuk harmonisasi,” tutup dia.

KEYWORD :

UU Cipta Kerja Omnibus Law MHU Masyarakat Hukum Udara




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :