
Apakah sama upaya membiarkan orang miskin kota hidup survive dengan menata ulang pemukiman kumuh mereka dan menggusur atas nama penataan untuk kemudian dialihkan ke rusunawa lalu tinggal tumpuk-menumpuk layaknya pengungsi dengan kewajiban membayar harga sewa tinggi bagi mereka?
Kalau ada riset independen sungguhan (bukan pesanan majikan). Bisa dibayangkan. Tinggal tumpuk-menumpuk dan berhimpitan dalam satu gedung sangatlah tersiksa. Problem sosialnya ikut tumpuk-menumpuk. Lokalisasi problem sosial yang kompleks. Bahkan boleh jadi selentingan rumor yang beredar tentang upaya terselubung untuk mengusir orang-orang kecil tersebut agar keluar dari ibukota bukanlah sekedar isapan jempol belaka. Memang butuh riset serius untuk membuktikannya.Kemiskinan kota bukan melulu persoalan malas dan bodoh tapi selalu ada ketidakadilan dari tangan-tangan besi kapitalis yang berperan di balik layar (invisible hands). Penindasan terselubung dari orang berpunya (borjuis) yang mengandalkan kekuatan modal besar (superpower) terhadap mereka (proletariat) yang harus rela terpinggirkan atas nama tata kelola pembangunan yang sarkastik inkrementalis. Padahal, Jakarta sebagai etalase negara selalunya menjanjikan mimpi-mimpi manis bagi semua. Termasuk orang-orang kecil yang datang mengadu nasib ke sana. Mimpi agar bisa bertumbuh dalam perubahan nasib mereka yang semakin membaik tanpa mesti harus was-was kena sikat atau sikut. Sayangnya, efek dari kejamnya strukturasi dan kapitalisasi seolah membuyarkan mimpi-mimpi manis itu. Lalu, kalau tidak untuk kedermawanan untuk apa pula kemiskinan kota itu mesti ada? Kecuali, kota memang direkayasa sebagai ruang berhala pemujaan materialisme belaka.Baca juga :
IPO: Pilpres 2024 Berpeluang Dua Putaran
IPO: Pilpres 2024 Berpeluang Dua Putaran
KEYWORD :
Penggusuran Opini Wan Putuhena